Sabtu, 31 Januari 2009

Jumat, 02 Januari 2009

Resensi Buku_Mencari Akar Transmigrasi di Indonesia

Judul : Ayo Ke Tanah Sabrang, Transmigrasi di Indonesia
Judul Asli : La terre d’en face – La transmigration en Indonésie
Penulis : Patrice Levang
Penerjemah : Sri Ambar Wahyuni Prayoga
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Institut de recherche pour le développement,
Forum Jakarta Paris, 2003
Tebal : xxvi + 362 halaman


Bagaimana sebenarnya akar transmigrasi di Indonesia ? Apakah itu murni ide pemerintah Indonesia ? Bagaimana dampak transmigrasi bagi rakyat Indonesia, terutama peduduk setempat yang dijadikan lahan transmigrasi? Apakah transmigrasi selalu berhasil?.Masih relevankah dengan keadaan sekarang?. Tampaknya masih banyak pertanyaan sehubungan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia di ‘tanah sabrang’. Dan jawabannya bisa didapat dalam buku ini.

Judul buku ini mengingatkan pada sebuah buku yang diterbitkan di Belanda tahun 1988 berjudul Tanah Sabrang: Land aan de overkant . Buku tersebut merupakan reproduksi skenario utuh film propaganda dengan judul yang sama karya Mannus Franken tahun 1937-38. Film propaganda ini bertujuan untuk menarik minat penduduk Jawa pindah ke tanah Sumatera sebagai bagian dari ‘kebijakan kolonisasi’ yang dimulai tahun 1905.

‘Kebijakan kolonisasi’ tersebut tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan politik kolonial awal abad ke-20 yang dikenal dengan ‘politik Etis’. Politik ini bertujuan untuk membalas budi bagi Hindia Belanda, terutama masyarakat pribumi, setelah negeri jajahan ini memberikan keuntungan ekonomis dan kemakmuran cukup besar bagi the mother land (‘negeri induk’) di Eropa sana. Ada tiga hal yang menjadi perhatian utama dari ‘politik Etis’ yaitu pendidikan, irigasi dan migrasi. Bagian ketiga ini menjadi ‘kebijakan kolonisasi’ yang kelak menjadi cikal bakal transmigrasi di Indonesia yang diadaptasi oleh presiden Soekarno dan Soeharto.

Transmigrasi sendiri sebenarnya hanya meneruskan program pengembangan pertanian di luar Jawa yang dimulai oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama Kolonisatie. Oleh karena istilah itu dianggap mengandung konotasi yang terlalu peyoratif, maka setelah Indonesia merdeka, dianggap perlu mencari nama baru untuk program tersebut. Pilihan jatuh pada nama transmigrasi, bukan emigrasi maupun imigrasi karena pemindahan penduduk itu terjadi antar pulau di sebuah negara yang berdaulat ( hal.3).

Diangkat dari versi ringkas disertasi Patrice Levang di École Nationale Supérieure d’Agronomie di Montpellier, Perancis, buku terjemahan ini membahas masalah-masalah yang dihadapi program transmigrasi di Indonesia. Bagian pertama buku ini menunjukkan bahwa sumber masalah-masalah transmigrasi bukan berasal dari pelaksanaannya, melainkan dari konsep dasar yang keliru. Konsep dasar tersebut merupakan hasil persepsi yang salah mengenai evolusi petani Jawa dalam beradaptasi terhadap pertumbuhan penduduk, prasangka yang tak kunjung ada habisnya terhadap ‘tanah sabrang’ dan penduduknya, serta minimnya perhatian terhadap pembangunan di luar bidang pertanian (hal.47 – 117)

Sejak tahun 1947, program transmigrasi seolah terus bertualang mencari jati diri dengan dipindahnya program transmigrasi dari satu departemen ke departemen lain. Dimulai dibawah naungan Departemen Tenaga Kerja dan Sosial pada tahun 1947. Lalu dipindahkan ke Departemen Pembangunan dan Kepemudaan, kemudian ke Departeman Dalam Negeri pada tahun 1948. Sebagai dinas dari Departemen Pembangunan Daerah, transmigrasi kembali ke Departemen Sosial sebelum dijadikan Departemen sendiri pada tahun 1957.

Tahun 1959 transmigrasi digabung dengan Departemen Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa dalam tiga bentuk yang berbeda. Kemudian kembali dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri, selanjutnya ke Departemen Veteran, setelah itu kembali ke Departemen Koperasi. Tidak lama kemudian dipindahkan ke Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Lalu sempat sepenuhnya menjadi Departemen Transmigrasi. Kembali bergabung menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya Departemen Transmigrasi dan Pemukiman, Perambah Hutan. Dan kembali menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi ( hal 11)

Adalah Asisten Residen, H.G.Heijting yang diberi tugas pemerintah kolonial untuk mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Jawa dari Karesidenan Kedu (Jawa Tengah) ke daerah-daerah luar Jawa. Heijting menyarankan agar dalam setiap proyek Pemerintah Belanda pertama-tama membangun kelompok inti yang terdiri dari 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga itu mendapat jaminan hidup selama tahun pertama dan kemungkinan akan diikuti oleh keluarga-keluarga berikutnya. Dengan harapan keluarga yang disubsidi itu akan mendatangkan sanak saudaranya sehingga lambat laun memicu arus migrasi spontan.

Tahun 1905 datanglah rombongan pertama yang terdiri dari 155 kepala keluarga dari Karesidenan Kedu di Gedong Tataan , Lampung. Para pendatang yang kelak melahirkan para Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) ini membangun sebuah desa yang diberi nama Bagelen, desa kolonisatie pertama. Empat desa lainnya dibangun antara tahun 1906 –1911 dan setiap keluarga memperolah 70 are sawah dan 30 are pekarangan. Biaya transportasi, bahan bangunan, peralatan dan jaminan hidup selama 2 tahun ditanggung pemerintah (hal.10).

Daerah-daerah tujuan transmigrasi pun berubah dari waktu ke waktu. Setelah mengirimkan ke daerah selatan Pulau Sumatera di Gedong Tataan (1905), Wonosobo (1921), Metro (1935), dan Belitang (1937), beralih ke Pulau Sulawesi dan Kalimantan hingga Papua. Untuk yang terakhir ini, sempat menjadi polemik, baru dimulai tahun 1979 dan hanya mencapai jumlah 4,5 % dari jumlah seluruh transmigran ( hal.25). Bahkan untuk Papua ( dulu Irian Jaya) dan Timor Timur ( Timor Leste), transmigrasi didukung oleh unsur militer, dengan memprioritaskan pada para veteran dalam proses perekrutan (hal.299). Di sini konsep pertahanan teritorial, pertahanan rakyat dan daerah penyangga menjadi hal yang tidak diragukan untuk mencegah disintegrasi dan mempertahankan stabilitas nasional.

Berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang juga mengulas tentang transmigrasi, antara lain Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905 –1985 (1985), Transmigrasi Harapan dan Tantangan ( 1993), 90 Tahun Kolonisasi, 45 Tahun Transmigrasi (1997). Buku ini memberikan data yang cukup lengkap. Hal ini dimungkinkan menilik penulisnya telah melakukan penelitian selama lebih dari duapuluh tiga tahun di negara ini. Sehingga data-data yang melimpah dan melengkapi buku ini dalam bentuk tabel dan grafik menjadi nilai tambah. Apalagi dalam mendapatkan data, penulisnya mewawancarai langsung para penduduk di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Tidak jarang ia dikira mata-mata, pastur, dan orang aneh.

Di bagian kedua diperlihatkan kesulitan yang dihadapi dan dialami oleh para transmigran karena adanya persepsi yang keliru tersebut serta perwujudannya oleh para perencana di beberapa proyek transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (hal.127 –235). Hal lain yang menarik dari buku ini adalah– walaupun penulis menganggapnya lebih bersifat politis dan tidak ilmiah – mengenai tujuan tak tersurat transmigrasi, apakah program transmigrasi hanya sekedar jawanisasi pulau-pulau selain Jawa, Islamisasi , politik penghapusan masyarakat adat, kolusi internasional yang bertujuan menjarah sumber daya di kepulauan Indonesia. Hingga kecurigaan yang berkaitan dengan usaha memperkuat kediktatoran Jenderal Soeharto ( hal.36)

Levang juga memberikan kritiknya kepada pemerintah pusat yang masih beranggapan bahwa pola perladangan kuno yang dilakukan masyarakat Punan dan Kubu di Kalimantan dan Sumatera, merugikan dan berbahaya. Alasannya, pola yang mereka gunakan mengakibatkan kebakaran hutan, tanah gundul, erosi dan banjir. Oleh karena itu pemerintah berupaya mengalihkan perhatian penduduk setempat dari perladangan yang ‘membahayakan’ itu dengan mengintegrasi mereka pada proyek transmigrasi dan resettlement ( pemukiman kembali). Menurut Levang dalam hal ini pemerintah mencampuradukkan antara peladang dan kelompok pemburu-peramu yang jelas-jelas berbeda.

Diungkapkan pula oleh penulis bahwa transmigrasi merupakan cara yang menguntungkan bagi pemerintah untuk memberikan ganti rugi kepada korban gusuran. Transaksi ini digeneralisasi untuk semua proyek yang menyangkut kepentingan umum, misalnya waduk, perluasan bandar udara atau daerah militer, proyek reboisasi, cagar alam, dan bahkan lapangan golf! ( hal.23)
Pada bagian terakhir buku ini, penulis menggambarkan bahwa transmigrasi pada dasarnya merupakan bentuk lain dari ekspansi kerajaan agraris Jawa. Di bagian ini terungkap bahwa sumber utama kesulitan-kesulitan transmigrasi terletak pada pandangan hidup dan konsepsi kekuasaan masa lalu orang Jawa yang hingga kini masih dipraktekkan (hal.245- 301).

Levang mengulas hubungan kolonisatie dan transmigrasi yang ditarik mundur dengan masa perluasan wilayah kerajaan agraris Jawa.Pola kerajaan Mataram yang diilhami langsung oleh pola kerajaan Majapahit tetap menonjol selama berabad-abad setelah berakhirnya kerajaan-kerajaan konsentris. Ekspansi kerajaan Jawa selama berabad-abad tercermin dari pemukiman lebih dari satu kelompok perambah hutan. Menurut sejarawan Perancis, Denys Lombard, antara abad ke-17 dan 19, ekspansi kerajaan Jawa ke arah barat pulau telah membuat wilayah Pasundan, mengadopsi budi daya padi sawah. Sesuai dengan keinginan kerajaan agraris agar orang ‘biadab’ mengenyam keindahan dunia yang ‘beradab’.

Pemerintah kolonial pun menyatakan dirinya sebagai ahli waris kerajaan Mataram dan kelak pemerintah berikutnya, Republik Indonesia menyatakan diri sebagai ahli waris kerajaan Majapahit sekaligus kerajaan Mataram. Meskipun nama-namanya berubah, Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indië, transmigrasi menggantikan kolonisatie, namun pranatanya tetap. Seperti yang diungkapkan Levang, dengan memberikan sawah satu bau ( 1 bau = 7096 m² ) kepada para transmigran, pemerintah kolonial berperilaku seperti bangsawan Jawa.

Demikian halnya pemerintah Indonesia yang memberikan dua hingga tiga hektar tanah . Mereka masih mengejar tujuan yang sama, yaitu kebijakan dan pengendalian sosial, pengembangan pertanian dan pengendalian wilayah. Bila kita kaitkan bahwa kebanyakan para petani yang dikirim ke Sumatera adalah petani Jawa, maka demi keberhasilan kolonisatie maka pola yang diperkirakan akan berhasil adalah pola Jawa. Pola inilah yang digunakan pemerintah kolonial dan mungkin diadaptasi pemerintah sekarang tanpa melihat bahwa pola-pola setempat atau mungkin pola-pola Bugis atau Banjar yang justru lebih cocok diterapkan.

Sayangnya meskipun kaya akan data baik dalam bentuk peta , grafik dan tabel, buku ini tidak dilengkapi indeks yang sebenarnya sangat membantu memudahkan pembaca mendapatkan obyek yang diinginkan. Selebihnya, buku ini tidak hanya menarik bagi kajian agronomi, ekonomi pertanian dan antropologi yang menjadi bidang kajian penulis buku ini, uraian sejarah transmigrasi juga patut dijadikan penambah wawasan kita, baik para akademisi, pengambil keputusan maupun masyarakat awam yang berminat.

My first short story_desa tanpa ingatan atau apalah

Finally, I can create a first short story named “desa tanpa ingatan”. For long time ago I wanted to make short story and I can reach in 23 years more 259 days I spent my time.oooh so pity. But beter late thane never. If I can write a short story in each week. just for 5 years I could make 240 short story. But I want going slowy, no target and writing short story when have mood. Ok. Let’s see like what my short story…

Desa Tanpa Ingatan
Sejak lahir hingga kini sudah mempunyai anak, kehidupan Dul Joni dihabiskan di tanah transmigran, tanah Sumatera. Tanah yang memberi banyak harapan menuju hidup yang lebih baik. Selepas kematian orangtuanya, Dul Joni sebagai generasi kedua transmigran mewarisi sawah yang tidak seberapa luas karena sudah dibagi dengan delapan kerabat lainnya. Satu bau (0,8 hektar), sawah yang kini digarap Dul Joni untuk bisa bertahan menghidupi istri dan anak tunggalnya.

Sore itu, Dul Joni menilik tanaman padi yang mulai menguning di areal sawah yang cukup luas untuk ukutan petani saat ini. ”semoga gusti Allah memberi panen yang melimpah”, begitu gumam Dul Joni sambil berdo’a.

Lepas Isya, Dul Joni mendapati pertanyaan dari Nita, anak semata wayangnya yang masih duduk di kelas 10, ”kapan bapak mau cerita soal asal usul kita”, tanya Nita. ”kebetulan Bu guru memberi tugas penulisan sejarah dan minggu depan harus sudah dikumpul, lagian bapak pernah janji mau bercerita”, lanjutnya memberi alasan.

Kalau cuma cerita perihal asal usul, bapak hanya bisa menjawab sekenanya. Tapi kalau Nita berharap jawaban yang memuaskan. Biar dapat nilai bagus di sekolah. Besok kita ke rumah Mbah Sentot yang lebih paham untuk menjawab soal ini,” jawab Dul Joni. Respon Dul Joni pada kenyataan dirinyanya tahu sedikit tentang asal usul dan tidak bisa berbuat banyak atas desakan putrinya, mencerminkan banyak sekali kealpaan Dul Joni berpikir tentang meneruskan pengetahuan sejarah yang sudah diwariskan oleh pendahulunya.

Dul joni sebagai orang tua menghadapi kesalahan yang tidak asing bagi kebanyakan orang tua. Sulit bagi suatu generasi membiasakan diri pada kenyataan bahwa anak-anak mereka sendiri tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi hanya beberapa dekade lalu. Dan itu disebabkan karena putusnya cerita dari satu generasi ke generasi berikutnya karena sikap apatisme dari masing-masing pihak. Beruntung, Nita mendapati tugas sejarah dari gurunya untuk mencari asal-usul desanya. Jika tidak barangkali anak tidak kepikiran untuk bertanya dan orang tua merasa tidak penting untuk bercerita.

Namun semua itu belum terlambat. Untuk menebus kesalahannya, Dul Joni ingin berbuat yang terbaik untuk anak yang keingintahuaanya didesak oleh tugas sekolahan. Karenanya ia sadar, bahan-bahan apa yang diperlukannya dan di mana dapat diperoleh. Bukan perpustakaan yang terlintas dalam pikirannya karenanya ia tidak mengatakan akan duduk membawa anaknya ke perpustakaan. Tidak ada buku yang bisa ditemui di perpustakaan yang menulis secara utuh asal usul mereka. Ia juga tidak mengatakan akan duduk bersama anaknya membolak-balik ensiklopedia tentang sejarah transmigrasi jika memang eksiklopedia tersebut ada. Walaupun upaya tersebut dapat sedikit membantu, semua itu dikesampingkan. Dul Joni akan membawa anaknya menemui generasi pertama transmigran yang masih hidup dan punya ingatan kuat akan masa lalu, sebagai pelaku sekaligus saksi sejarah yaitu Mbah Sentot.

Keesokan harinya, Bapak dan Anak itu pergi ke rumah Mbah Sentot yang sudah berumur 90-an tahun. Mbah sentot merupakan teman seperjuangan kakek Nita yang sudah almarhum semasa sama-sama merintis pembukaan hutan yang menjadi cikal bakal Desa Telogo Asri.
Melalui Mbah Setot, Dul Joni hanya ingin melihat terjadinya percakapan antara satu generasi dengan generasi yang lain tentang sebuah persoalan yang memiliki makna sejarah. Dul Joni hanya bertindak sebagai medium yang mengantarkan anaknya memahami sejarah masa lalu yang diceritakan Mbah Sentot yang sekarang sudah dianggap sebagai ”kakek”nya sendiri. Tentu ceritanya akan lain ketika Mbah Sentot bercerita kepada Dul Joni, atau Dul Joni bercerita langsung kepada anaknya. Dialog ini menyangkut dialog batin seorang sesepuh yang ingin mewariskan ”tongkat estafet” cerita masa lalu kepada cucunya. Sebuah transfer lived memory (ingatan yang dijalani) yang dimiliki Mbah Sento menjadi learned memory (ingatan yang diajarkan) yang akan dimiliki Nita. Barangkali lewat catatan tugas sekolah yang dibuat Nita, sejarah mereka tidak hanya menguap lewat kata-kata tetapi yang lebih penting dapat terpatri lewat lembar sejarah.

Mbah Sentot sudah diberitahu Dul Joni sebelumnya, kalau dia akan kedatangan tamu. Karena itu dia sudah menyiapkan banyak bahan untuk diceritakan kepada Nita. Sebelum Mbah Sentot memulai cerita, Dul Joni membisiki anaknya,

”Selain telinga harus runcing, kamu juga harus mampu merasa. Dan jangan lupa mencatat”. Jelas Dul Joni

”Baik, pak”, sahut Nita

Untuk mengurangi tekanan dan menciptakan suasana alami, Mbah Sentot bercerita sambil mengeluarkan beberapa foto pada masa transmigrasi. Foto-foto itulah yang masih tersimpan rapi dan dijaga dengan sangat baik oleh Mbah Sentot. Foto itulah salah satu cara Mbah Sentot bernostalgia mengingat masa lalunya selain menengok batu nisan di saat-saat tertentu. Punggahan misalnya. Foto-foto pada masa awal transmigrasi dan mencoba bertahan hidup di desa transmigran (Telogo Asri) begitu berarti bagi Mbah Sentot yang masih terus membentuk ingatan kehidupannya pada masa kini. Saking kuatnya intensitas emosi antara Mbah Sentot dengan foto tersebut, Mbah Sentot sampai tak kuasa meneteskan air mata, sambil menceritakan kenangan dalam foto-foto itu. Mbah Sentot, dengan suara gemetar dan mata berbinar mengisahkan ”Ini mbah kamu yang duduk sambil memegang rokok, di sebelahnya ada Mbah Sentot dan bersama beberapa perintis desa ini.”. Sambil menghela nafas dalam-dalam kemudian Mbah Sentot berkata lagi, ”Tidak semua yang ada di foto ini jadi menetap di desa, sebagian ada yang tidak betah dan kembali ke tanah Jawa. Saya sendiri dan mbah kamu mencoba terus bertahan karena di Jawa sudah tidak punya sanak saudara lagi dan disinilah tempat yang bisa kami harapakan untuk melanjutkan hidup”.

”Kenapa mbah saya tidak punya saudara lagi di Jawa”, tanya Nita penasaran.

”Ada, tapi tidak tahu keberadaanya dimana sekarang dan bagaimana kondisinya. Belanda membawa kami kesini tanpa memberi kesempatan untuk berpamitan kepada sanak saudara. Itulah kejamnya penjajah.” jawab Mbah Sentot

”Tapi..., (sambil sedikit berpikir). Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi kitakan bisa menjenguk keluarga di Jawa,” tanyanya polos.

”Iya, itu sudah dilakukan mbah kamu. Setelah keadaan politik di Indoensia membaik paska G 30 S PKI dan punya cukup uang. Tahun 1970, mbah kamu dengan saya memberanikan diri pergi ke Jawa, ke kampung Wonoyoso.”

”Lalu”, kejar Nita

”Disana kami tidak menemukan keluarga yang masih tersisa. Seumpama sudah meninggal pun karena kebiadaban tentara Belanda, kuburannya kami cari tidak juga diketemukan,” terang Mbah Sentot

”Kira-kira kemana ya mbah. ” tanya Nita penuh gejolak.

”Itulah yang tidak kami tahu. Penduduk sana sebenarnya tahu tapi mereka memilih bungkam. Kami bisanya cuma nrimo. Menerima kenyataan yang terjadi. Karena tidak mendapatkan hasil, kami akhirnya pulang kembali ke Lampung” jawab Mbah Sentot mengakhiri cerita.

Dari cerita tersebut, Nita tahu apa yang sebenarnya terjadi dan paham mengapa bapaknya selalu menghindar tiap kali Nita bertanya soal asal-usul keluarga. Apa yang dikisahkan Mbah Sentot menjadi momen yang begitu membekas bagi Nita. Setidaknya Nita mengetahui langsung dari Mbah Sentot perihal apa yang seberanya terjadi.

Setelah Mbah Sentot dan Nita berdiam diri sejenak untuk menenangkan perasaan, Dul Joni berpaling pada Nita dan bertanya kalau-kalau ada yang ingin ditanyakannya kepada Mbah Sentot, tentang apa saja yang ingin diketahuinya. ”cukup dulu, pak” jawab Nita.

Bagi Nita, cerita yang didapat dari Mbah Sentot adalah cerita yang mewah. Sebuah cerita yang berbicara tentang hal-hal yang tidak lagi menjadi pengetahuan bersama (collective memory), tidak lagi dapat dengan mudah dibangkitkan atau dianggap selalu ada bahkan menjurus pada terhambat masuk ingatan kolektif (collective occlusion) Sepertinya mudah bagi suatu generasi membiasakan diri pada kenyataan bahwa mereka sendiri tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi hanya beberapa dekade lalu.

If you finish reading my short story. Give advise, please….thank you. Matur nuwon.