Jumat, 02 Januari 2009

My first short story_desa tanpa ingatan atau apalah

Finally, I can create a first short story named “desa tanpa ingatan”. For long time ago I wanted to make short story and I can reach in 23 years more 259 days I spent my time.oooh so pity. But beter late thane never. If I can write a short story in each week. just for 5 years I could make 240 short story. But I want going slowy, no target and writing short story when have mood. Ok. Let’s see like what my short story…

Desa Tanpa Ingatan
Sejak lahir hingga kini sudah mempunyai anak, kehidupan Dul Joni dihabiskan di tanah transmigran, tanah Sumatera. Tanah yang memberi banyak harapan menuju hidup yang lebih baik. Selepas kematian orangtuanya, Dul Joni sebagai generasi kedua transmigran mewarisi sawah yang tidak seberapa luas karena sudah dibagi dengan delapan kerabat lainnya. Satu bau (0,8 hektar), sawah yang kini digarap Dul Joni untuk bisa bertahan menghidupi istri dan anak tunggalnya.

Sore itu, Dul Joni menilik tanaman padi yang mulai menguning di areal sawah yang cukup luas untuk ukutan petani saat ini. ”semoga gusti Allah memberi panen yang melimpah”, begitu gumam Dul Joni sambil berdo’a.

Lepas Isya, Dul Joni mendapati pertanyaan dari Nita, anak semata wayangnya yang masih duduk di kelas 10, ”kapan bapak mau cerita soal asal usul kita”, tanya Nita. ”kebetulan Bu guru memberi tugas penulisan sejarah dan minggu depan harus sudah dikumpul, lagian bapak pernah janji mau bercerita”, lanjutnya memberi alasan.

Kalau cuma cerita perihal asal usul, bapak hanya bisa menjawab sekenanya. Tapi kalau Nita berharap jawaban yang memuaskan. Biar dapat nilai bagus di sekolah. Besok kita ke rumah Mbah Sentot yang lebih paham untuk menjawab soal ini,” jawab Dul Joni. Respon Dul Joni pada kenyataan dirinyanya tahu sedikit tentang asal usul dan tidak bisa berbuat banyak atas desakan putrinya, mencerminkan banyak sekali kealpaan Dul Joni berpikir tentang meneruskan pengetahuan sejarah yang sudah diwariskan oleh pendahulunya.

Dul joni sebagai orang tua menghadapi kesalahan yang tidak asing bagi kebanyakan orang tua. Sulit bagi suatu generasi membiasakan diri pada kenyataan bahwa anak-anak mereka sendiri tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi hanya beberapa dekade lalu. Dan itu disebabkan karena putusnya cerita dari satu generasi ke generasi berikutnya karena sikap apatisme dari masing-masing pihak. Beruntung, Nita mendapati tugas sejarah dari gurunya untuk mencari asal-usul desanya. Jika tidak barangkali anak tidak kepikiran untuk bertanya dan orang tua merasa tidak penting untuk bercerita.

Namun semua itu belum terlambat. Untuk menebus kesalahannya, Dul Joni ingin berbuat yang terbaik untuk anak yang keingintahuaanya didesak oleh tugas sekolahan. Karenanya ia sadar, bahan-bahan apa yang diperlukannya dan di mana dapat diperoleh. Bukan perpustakaan yang terlintas dalam pikirannya karenanya ia tidak mengatakan akan duduk membawa anaknya ke perpustakaan. Tidak ada buku yang bisa ditemui di perpustakaan yang menulis secara utuh asal usul mereka. Ia juga tidak mengatakan akan duduk bersama anaknya membolak-balik ensiklopedia tentang sejarah transmigrasi jika memang eksiklopedia tersebut ada. Walaupun upaya tersebut dapat sedikit membantu, semua itu dikesampingkan. Dul Joni akan membawa anaknya menemui generasi pertama transmigran yang masih hidup dan punya ingatan kuat akan masa lalu, sebagai pelaku sekaligus saksi sejarah yaitu Mbah Sentot.

Keesokan harinya, Bapak dan Anak itu pergi ke rumah Mbah Sentot yang sudah berumur 90-an tahun. Mbah sentot merupakan teman seperjuangan kakek Nita yang sudah almarhum semasa sama-sama merintis pembukaan hutan yang menjadi cikal bakal Desa Telogo Asri.
Melalui Mbah Setot, Dul Joni hanya ingin melihat terjadinya percakapan antara satu generasi dengan generasi yang lain tentang sebuah persoalan yang memiliki makna sejarah. Dul Joni hanya bertindak sebagai medium yang mengantarkan anaknya memahami sejarah masa lalu yang diceritakan Mbah Sentot yang sekarang sudah dianggap sebagai ”kakek”nya sendiri. Tentu ceritanya akan lain ketika Mbah Sentot bercerita kepada Dul Joni, atau Dul Joni bercerita langsung kepada anaknya. Dialog ini menyangkut dialog batin seorang sesepuh yang ingin mewariskan ”tongkat estafet” cerita masa lalu kepada cucunya. Sebuah transfer lived memory (ingatan yang dijalani) yang dimiliki Mbah Sento menjadi learned memory (ingatan yang diajarkan) yang akan dimiliki Nita. Barangkali lewat catatan tugas sekolah yang dibuat Nita, sejarah mereka tidak hanya menguap lewat kata-kata tetapi yang lebih penting dapat terpatri lewat lembar sejarah.

Mbah Sentot sudah diberitahu Dul Joni sebelumnya, kalau dia akan kedatangan tamu. Karena itu dia sudah menyiapkan banyak bahan untuk diceritakan kepada Nita. Sebelum Mbah Sentot memulai cerita, Dul Joni membisiki anaknya,

”Selain telinga harus runcing, kamu juga harus mampu merasa. Dan jangan lupa mencatat”. Jelas Dul Joni

”Baik, pak”, sahut Nita

Untuk mengurangi tekanan dan menciptakan suasana alami, Mbah Sentot bercerita sambil mengeluarkan beberapa foto pada masa transmigrasi. Foto-foto itulah yang masih tersimpan rapi dan dijaga dengan sangat baik oleh Mbah Sentot. Foto itulah salah satu cara Mbah Sentot bernostalgia mengingat masa lalunya selain menengok batu nisan di saat-saat tertentu. Punggahan misalnya. Foto-foto pada masa awal transmigrasi dan mencoba bertahan hidup di desa transmigran (Telogo Asri) begitu berarti bagi Mbah Sentot yang masih terus membentuk ingatan kehidupannya pada masa kini. Saking kuatnya intensitas emosi antara Mbah Sentot dengan foto tersebut, Mbah Sentot sampai tak kuasa meneteskan air mata, sambil menceritakan kenangan dalam foto-foto itu. Mbah Sentot, dengan suara gemetar dan mata berbinar mengisahkan ”Ini mbah kamu yang duduk sambil memegang rokok, di sebelahnya ada Mbah Sentot dan bersama beberapa perintis desa ini.”. Sambil menghela nafas dalam-dalam kemudian Mbah Sentot berkata lagi, ”Tidak semua yang ada di foto ini jadi menetap di desa, sebagian ada yang tidak betah dan kembali ke tanah Jawa. Saya sendiri dan mbah kamu mencoba terus bertahan karena di Jawa sudah tidak punya sanak saudara lagi dan disinilah tempat yang bisa kami harapakan untuk melanjutkan hidup”.

”Kenapa mbah saya tidak punya saudara lagi di Jawa”, tanya Nita penasaran.

”Ada, tapi tidak tahu keberadaanya dimana sekarang dan bagaimana kondisinya. Belanda membawa kami kesini tanpa memberi kesempatan untuk berpamitan kepada sanak saudara. Itulah kejamnya penjajah.” jawab Mbah Sentot

”Tapi..., (sambil sedikit berpikir). Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi kitakan bisa menjenguk keluarga di Jawa,” tanyanya polos.

”Iya, itu sudah dilakukan mbah kamu. Setelah keadaan politik di Indoensia membaik paska G 30 S PKI dan punya cukup uang. Tahun 1970, mbah kamu dengan saya memberanikan diri pergi ke Jawa, ke kampung Wonoyoso.”

”Lalu”, kejar Nita

”Disana kami tidak menemukan keluarga yang masih tersisa. Seumpama sudah meninggal pun karena kebiadaban tentara Belanda, kuburannya kami cari tidak juga diketemukan,” terang Mbah Sentot

”Kira-kira kemana ya mbah. ” tanya Nita penuh gejolak.

”Itulah yang tidak kami tahu. Penduduk sana sebenarnya tahu tapi mereka memilih bungkam. Kami bisanya cuma nrimo. Menerima kenyataan yang terjadi. Karena tidak mendapatkan hasil, kami akhirnya pulang kembali ke Lampung” jawab Mbah Sentot mengakhiri cerita.

Dari cerita tersebut, Nita tahu apa yang sebenarnya terjadi dan paham mengapa bapaknya selalu menghindar tiap kali Nita bertanya soal asal-usul keluarga. Apa yang dikisahkan Mbah Sentot menjadi momen yang begitu membekas bagi Nita. Setidaknya Nita mengetahui langsung dari Mbah Sentot perihal apa yang seberanya terjadi.

Setelah Mbah Sentot dan Nita berdiam diri sejenak untuk menenangkan perasaan, Dul Joni berpaling pada Nita dan bertanya kalau-kalau ada yang ingin ditanyakannya kepada Mbah Sentot, tentang apa saja yang ingin diketahuinya. ”cukup dulu, pak” jawab Nita.

Bagi Nita, cerita yang didapat dari Mbah Sentot adalah cerita yang mewah. Sebuah cerita yang berbicara tentang hal-hal yang tidak lagi menjadi pengetahuan bersama (collective memory), tidak lagi dapat dengan mudah dibangkitkan atau dianggap selalu ada bahkan menjurus pada terhambat masuk ingatan kolektif (collective occlusion) Sepertinya mudah bagi suatu generasi membiasakan diri pada kenyataan bahwa mereka sendiri tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi hanya beberapa dekade lalu.

If you finish reading my short story. Give advise, please….thank you. Matur nuwon.

Tidak ada komentar: