Selasa, 28 Oktober 2008

Individu Kosmopolitan Keluarga Transmigran

Saat ini program transmigrasi sudah banyak dilupakan publik. Padahal, tidak sedikit dari anggota keluarga, tetangga, atau kenalan kita yang menjadi transmigran. Transmigrasi telah dimulai sejak zaman kolonial, lewat regulasi Politik Etis yang dicetuskan Van Deventer, yakni emigrasi atau transmigrasi, edukasi, dan irigasi. Kontingen transmigran pertama merantau ke Gedong Tataan Lampung pada tahun 1905.

Sejak itu, tansmigran secara bergelombang merantau ke Sumatera, kemudian Kalimantan, dan belakangan dikembangkan di Sulawesi, termasuk Maluku hingga Papua. Di Sumatera konsentrasi terbesar transmigran bermukim di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), khususnya di Lampung serta di Jambi.

Kontingen transmigran biasanya berangkat per kabupaten (dahulu per karesidenan) sejumlah antara 30 hingga 40 kepala keluarga (KK).

Mereka menempati Satuan Permukiman yang disebut SP, ada juga yang disebut Unit-unit. Secara administratif, transmigran dibagi dalam SP I, II atau Unit I, II, dan seterusnya. Namun, dalam perkembangannya transmigran asal Jawa lebih suka mengidentifikasi SP dan Unit ini dengan nama karesidenan atau kabupaten asal, atau paling tidak menggunakan nama-nama berbau Jawa.

Banyak dari SP atau Unit ini yang kemudian berkembang menjadi desa atau kecamatan. Sehingga, kita mengenal nama-nama Kecamatan atau Desa Pringsewu, Kalirejo, Sidodadi, atau Sidomulyo di daerah transmigran.

Transmigran di tanah prantauan telah berkembang dan memiliki keturunan hingga beberapa generasi. Bila transmigran berangkat pada kontingen pertama tahun 1905 hingga 1920-an, saat ini mereka telah berkembang hingga keturunan kelima atau keenam. Bila mereka menjadi transmigran setelah zaman republik antara tahun 1950 hingga 1960an – jumlah ini yang paling banyak, mereka telah memiliki tiga hingga empat generasi. Periode terakhir, tahun 1970-an berkembang hingga keturunan kedua atau ketiga.

Setelah tahun 1980-an, transmigran asal Jawa mulai dikurangi untuk selanjutnya dihentikan karena pemerintah setempat mulai banyak mengenalkan program transmigrasi lokal. Transmigran asal Jawa pada tahun-tahun setelah 1980-an banyak terkonsentrasi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.

Kebanyakan transmigran asal Jawa masih memegang teguh adat dan tradisi yang dibawa dari Jawa, disamping berbaur dengan budaya dan penduduk lokal. Selamatan, nyadran, ngelmu petungan, tata krama, prosesi pernikahan, hingga bahasa ibu masih digunakan oleh transmigran.
Generasi pertama transmigran masih mengikuti adat istiadat ini seperti aslinya yang dilakukan leluhurnya di Jawa. Namun, bagi generasi kedua dan ketiga tradisi ini mulai diikuti secara moderat. Maksudnya, tata cara dilaksanakan , namun tidak lengkap atau dimodifikasi menjadi lebih sederhana.

Meskipun demikian, warna Njawani-nya masih terasa. Namun, tidak sedikit pula generasi kedua, ketiga, maupun keempat dan kelima yang lebih memilih menggunakan tata cara nasional sama sekali. Tata cara nasional ini dapat disebut sebagai tata cara yang sudah diakui menasional dan banyak dilakukan oleh banyak penduduk Indonesia lainnya, meski banyak yang diserap dari kebudayaan Jawa.

Semakin melonggarkan
Tradisi transmigran asal Jawa yang masih dipegang teguh di tanah perantauan semakin berkurang jumlahnya dan semakin sederhana bentuknya. Hal ini terjadi karena generasi pertama transmigran sudah banyak yang wafat.

Generasi selanjutnya semakin melonggarkan tradisi yang ada karena di samping referensi "yang asli" sudah wafat maupun otoritas kebudayaan semacam keraton seperti halnya di Jawa tidak ada, generasi transmigran ini banyak bersinggungan dengan kebudayaan lokal maupun kebudayaan nasional. Akulturasi ini melahirkan kebudayaan yang khas di daerah-daerah transmigran.

Tidak hanya di daerah transmigran saja yang orisinalitas kebudayaannya mulai meluntur. Di Jawa sendiri pun sebenarnya laju kematian bahasa ibu terus bertambah setiap tahun hingga tidak banyak penduduk Jawa usia muda yang nJawani.

Namun, tren luhurnya orisinalitas kebudayaan yang menurun pada keturunan transmigran khas dan berbeda konteksnya dengan melunturnya kebudayaan Jawa padd generasi muda di Jawa. Keturunan transmigran di perantauan ini kemudian menjadi individu kosmopolitan.

Menariknya, penduduk lokal masih menganggap keturunan ketiga atau kempat, bahkan keturunan yang baru lahir dari transmigran asal Jawa sebagai "orang Jawa". Padahal, banyak keturunan transmigran ini yang sudah tidak mengikuti adat-istiadat Jawa secara utuh, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan tidak mengerti sama sekali bahasa Jawa, termasuk ngoko, hingga tidak memiliki keluarga lagi di Jawa.

Hubungan dengan leluhur di Jawa yang kepaten obor ini bisa disebabkan karena mereka di tanah perantauan kurang berhasil – dan jumlah ini sangat banyak - sehingga tidak meiliki sumber daya lebih untuk menjalin silaturahim semacam mudik. Dapat juga disebbkan karena keluarga di Jawa sudah tidak terlacak, sedangkan generasi pertama sudah wafat.

Keturunan transmigran yang masih dianggap sebagai "orang Jawa" ini berada dalam situasi kepribadian terbelah (split personality). Mereka oleh penduduk lokal dianggap sebagai "orang jawa", namun di Jawa, bahkan oleh keluarga leluhur mereka dianggap sebagai "orang Lampung" atau "orang Sumatera".

Mereka yang dianggap sebagai "orang Jawa" ini kurang njawani sekaligus tidak mengerti banyak kebudayaan lokal. Sehingga, tepat bila keturunan transmigran ini disebut sebagai individu kosmopolitan: bercita rasa nasional, tidak memiliki akar kebudayaan (bolehlah disebut apatride kebudayaan; meminjam istilah penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan karena tidak memenuhi asa kelahiran (ius soli) dan asas keturunan (ius sanguinis) sehingga menjadikan mereka "anak-anak kebudayaan Indonesia". Tabik

Oleh Febrie Hastiyanto
Bapeda Tegal

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bung, saya merasa mendapat apresiasi tulisan saya anda posting di blog ini. apa anda juga keturunan transmigran?

salam,
febrie hastiyanto