Jumat, 17 Oktober 2008

review buku : totto chan


hmmmm... ini adalah satu buku baru yang baru saja selesai saya baca, dan ternyata benar2 luar biasa karena di dasarkan pada kisah nyata kehidupan pengarang buku ini sendiri yaitu TETSUKO KUROYANAGI ....berikut reviewnya

Totto Chan : Sekolah itu asyik dan menyenangkan
Apa jadinya kalau bersekolah menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan?!? Yang mana peserta didiknya tidak perlu dipaksa bangun orang tuanya untuk berangkat ke sekolah; yang tidak perlu bersorak kegirangan bila diumumkan tidak ada pelajaran; yang segala sesuatunya tidak harus diatur dengan dalih atas nama “ketertiban”; yang sangat antusias mempelajari subyek ilmu / pelajaran baru; dan yang relasi antara guru-murid, guru-guru, dan murid-muridnya saling ‘menghidupkan’?!? Hasilnya tentu dashyat, bukan?!?

Membaca buku “Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela”, saya seakan disodorkan bahwa “bersekolah itu menyenangkan” sangat mungkin diwujudkan. Adalah sosok bernama Sosaku Kobayashi dengan sekolahnya “Tomoe Gakuen” yang mengilhami ini semua. Lewat visi besarnya, cinta tulusnya, dan totalitas pada setiap anak didiknya, “Tomoe Gakuen” menjadi ’surga kecil’ buat anak-anak seperti Totto-chan.

Dari sebuah penolakan kisah itu bermula
Buku ini diawali dari ‘tergusur’nya Totto-chan (chan berarti panggilan akrab atau sayang) dari sekolahnya yang lama, akibat ‘kenakalannya’ yang tidak bisa dikendalikan. Ibu Guru mengganggap Totto-chan nakal dan bandel, padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang tinggi umumnya melebihi anak seusianya. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tidak tahan lagi, akhirnya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah pada hari pertamanya, dan itu terjadi saat Totto-chan masih berada di bangku kelas 1 (peristiwa yang langka/tragis...).

Ibu Totto-chan mau tidak mau harus mencari sekolah baru untuk anak tercintanya. Ibunya percaya bahwa gadis kecilnya sebenarnya bukan anak nakal yang mengganggu pelajaran di kelas sehingga harus dikeluarkan dari sekolah. dan beruntunglah Totto-chan dipindahkan di sekolah yang tepat, yaitu: “Tomoe Gakuen”. Totto-chan girang sekali, di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Mengasyikkan sekali, kan?.

Dari gerbong kereta Tomoe Gakuen inilah kemudian kisah-kisah seru Totto-chan bergulir.
Tidak seperti sekolah lainnya, para murid bebas memilih urutan pelajaran yang mereka sukai. Di awal jam pelajaran Guru membuat daftar soal dan pertanyaan tentang pelajaran hari itu. Murid-murid boleh memilih urutan mata pelajaran sesuai keinginannya. Bila mengalami kesulitan, mereka boleh berkonsultasi dengan guru kapan saja. Dalam satu ruangan kelas setiap murid memiliki aktifitas yang berbeda-beda sesuai keinginannya. Bagi yang suka menggambar akan mulai dengan menggambar, murid yang suka fisika akan memulai harinya dengan menggeluti alat-alat laboratorium. Pokoknya sesuka mereka. Hal itulah yang membuat totto kerasan. cara mengajar tersebut membuat murid-murid merasa dihargai, dan diberi kebebasan memilih sehingga keberanian mengambil keputusan akan berkembang. Murid-murid juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-chan pun merasa kerasan.
Setiap pagi Bapak/Ibu guru menuliskan soal-soal dan pertanyaan yang akan diajarkan hari itu. Murid bebas memilih pelajaran yang akan mereka kerjakan terlebih dahulu. Metode pengajaran ini dapat membantu guru mengamati bakat dan minat pada setiap anak didik. Guru ibarat petani, karena dialah yang paling tahu tentang tanaman dan cara berkebun.

Pelajar kelas satu belum mulai dengan bekerja mandiri, tapi mereka boleh juga memulai dengan pelajaran paling disukai. ....

Hal 27 :
.... Para pelajar senang dengan keputusan bahwa mereka boleh memulai dengan sebuah pelajaran yang mereka sukai dan menyelesaikan pelajaran yang tidak terlalui disukai di waktu akhir menjelang sekolah selesai. Jadi para pelajar bekerja tanpa bantuan orang lain, tapi bila mereka sendiri tidak tahu lagi bagaimana, mereka dapat bertanya ke guru mereka atau meminta sang guru untukmenjelaskannya di bangku mereka. Maka kemudian mereka mendapat tugas sebagai latihan dan kembali bekerja sendiri. Jadi betul-betul belajar serius dan tidak pernah terjadi para pelajar terkantuk-kantuk duduk ketika gurunya bicara dan menerangkan sesuatu.

Untuk ‘memaksa’ anak menyantap makanan yang bergizi, kepala sekolah meminta siswa untuk melengkapi syarat bekal makanan mereka dengan ’satu macam yang dari PEGUNUNGAN” dan ’satu macam yang dari LAUT”. ‘Paksaan’ tersebut tidak dirasakan oleh anak, karena mereka saling bertukar makanan dan lebih tertarik belajar menebak-nebak makanan apa yang dari gunung dan apa yang dari laut. Sebelum mulai acara makan, kepala sekolah akan berkeliling dan memeriksa bekal setiap anak. Kadang beliau mengajukan pertanyaan dan menjelaskan menu makanan tertentu.

Di sekolah ini, murid-murid dianjurkan memakai pakaian terjelek yang mereka punya, karena pakaian yang bagus akan segera menjadi kotor di sini. Di sekolah ini semua anak tidak sabar untuk kembali ke sekolah esok harinya. Hhmh.. benar-benar sebuah sekolah impian.
Setelah seharian belajar, siswa dibolehkan memilih acara bebas. Biasanya mereka memilih untuk berjalan-jalan. Ditemani dengan Bapak/Ibu guru mereka berjalan-jalan dengan riang, sesekali mereka bertanya tentang apa saja yang mereka liat atau temui. Anak-anak tidak pernah menyadari, bahwa dalam acara bebas ini mereka sesungguhnya belajar banyak tentang sains, biologi, dan sejarah. Acara jalan-jalan juga dilakukan apabila murid-murid bisa menyelesaikan seluruh pelajaran sebelum waktunya.

Bila bu guru menganggap Kepala Sekolah bukanlah sosok yang dekat dengan murid-murid sekolah dasar. Bila bu guru menganggap seorang anak --yang melakukan perbuatan yang dianggap aneh oleh orang dewasa-- harus diberi hukuman, maka bu guru adalah salah seorang yang perlu menyimak kisah berikut ini.

Totto Chan beruntung mempunyai seorang kepala sekolah, Bapak Kobayashi, yang sangat percaya bahwa setiap anak memiliki potensi dan bahwa cara mendidik anak yang terbaik yaitu dengan memberikan kebebasan dalam berekspresi. Ada sebuah cerita yang sangat bagus, yaitu ketika dompet kesayangan Totto terjatuh dalam sebuah septic tank.

Peristiwa ini terjadi tatkala dompet kesayangan Totto-chan terjatuh di sebuah septick tank di sekolah. Totto kemudian memutuskan untuk mencari dompetnya itu dan menggali tumpukan kotoran di septic tank tersebut!!

(hal. 57 – 58).
Tumpukan kotoran di tanah sudah cukup tinggi ketika Kepala Sekolah kebetulan lewat.
“Kau sedang apa?” tanyanya kepada Totto-chan
“Dompetku jatuh,” jawab Totto-chan, sambil terus mencedok. Ia tidak ingin membuang waktu.
“Oh, begitu,” kata Kepala Sekolah, lalu berjalan pergi, kedua tangannya bertaut di belakang punggung, seperti kebiasaannya ketika berjalan-jalan.
Waktu berlalu, Totto-chan belum juga menemukan dompetnya. Gundukan berbau busuk itu semakin tinggi.
Kepala Sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetmu?” tanyanya.
“Belum,” jawab Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya memerah.
Kepala sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai kan?”. Kemudian pria itu pergi lagi seperti sebelumnya.
“Ya,” jawab Totto-chan riang, sambil terus bekerja

Alih-alih memarahi Totto-chan, Kepala Sekolah memilih menanyakan kesediaan Totto-chan mengembalikan kotoran ke dalam septic tank. Tidak melarang Totto-chan melanjutkan “proyeknya”, namun mengajarkan tanggung jawab kepada murid kecilnya. Tidak ada kemarahan, tidak juga hardikan, yang ada adalah pengertian mendalam terhadap alasan tindakan seorang anak. Buat siswa kelas satu SD, menciduk kotoran dari lubang penampungan septic tank bukanlah hal yang aneh, apalagi bila hal itu dilakukan untuk mencari dompet yang jatuh ke septic tank.

Kepala Sekolah berusaha menjaga agar bibit-bibit keberanian mengambil tindakan yang mulai tumbuh di dalam jiwa muridnya tidak mati. Biar kelak saat umurnya bertambah, si anak akan memiliki kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Sebuah tindakan yang dilandasi empati luar biasa terhadap perkembangan kepribadian seorang anak.

Pak kobayashi juga sosok yang selalu ingin mendengar apa saja yang ingin diutarakan murid-muridnya. Supaya lebih otentik saya terjemahkan saja bagian-bagian yang menurut saya menarik ya

Hal 17-19 :
... Pak kepala sekolah menawarkan Totto-chan pertama-tama kursi dan kemudian membalikkan tubuhnya menghadap ibu Totto-chan : ”Saya sekarang ingin bicara dengan Totto-chan, jadi Anda sudah dapat pulang ke rumah sekarang.”
Awalnya Totto-chan merasa tidak nyaman, tapi ia merasa bahwa ia mulai merasa cocok dengan kepala sekolah ini.
”Kalau begitu baiklah, saya biarkan Anda sekarang dengannya” jawab ibu dengan segenap hati. Kemudian ia keluar dan menutup pintu.
Kepala sekolah menarik sebuah kursi dan menaruhnya tepat di depan Totto-chan. Setelah ia duduk maka ia berkata :”Jadi ... sekarang ceritakanlah semua yang ingin kamu ceritakan.”

”Semua, yang ingin saya ceritakan ?” Tadinya Totto-chan berpikir pak kepala sekolah akan mengajukan pertanyaan yang perlu dijawab. Tapi ketika ia mendengar ia dapat bercerita apa saja maka dengan senang hati mulailah ia bercerita. Semua itu sedikit membingungkan tapi ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bercerita. Ia ceritakan tentang kereta yang ia naiki tadi pagi tentan tiket kereta yang tidak dapat di bawa pulang walaupun ia telah memintanya dengan manis pada petugas yang ada di sana, bercerita tentang kecantikan guru di sekolah lamanya, tentang sarang burung di sekolah lamanya, tentang kepintaran anjing coklat di rumahnya yang bernama Rocky, tentang kenakalannya di TK walaupun pengajar sudah melarangnya, ia selalu cepat-cepat dalam membersihkan hidungnya karena ibu selalu menegurnya, tentang ayahnya yang tidak hanya jago berenang tapi juga hebat dalam terjun dengan kepala ..

Totto-chan bercerita dan bercerita tanpa henti. Kepala sekolah tertawa, mengangguk dan berkata : “Lalu ?” Dan setiap kali bila kepala sekoalh berkata itu maka Totto-chan menjadi gembira sehinggi ia bercerita terus hingga akhirnya ia kehabisan bahan cerita, ia kemudian duduk dan berpikir. Kemudia kepala sekolah berkata : “Apakah kamu sudah selesai ?”
Kemudian ia teringat pakaiannya dan mulailah ia bercerita kembali .. sampai akhirnya ia merasa tidak ada lagi yang bisa diceritakan walaupun ia telah berusaha mengingat dan berpikir, sehingga ia menjadi kecewa dan sedih. Tapi ... kemudian pak kepala sekolah berdiri dan menaruh tangan ghangatnya di atas kepala dan berkata :”Nah ... sekarang kau telah menjadi pelajar di sekolah ini.”

Itulah kata-katanya. Ketika Totto-chan mendengarnya, ia merasa untuk pertama kali dalam hidupnya telah bertemu dengan seseorang yang ia sukai, karena belum pernah ia bertemu dengan seseorang yang tahan begitu lama mendengarkan ceritanya. Bahkan pak kepala sekolah ini tidak sekalipun menguap atau memperlihatkan kesan bosannya, namun tetap saja mendengar dengan penuh perhatian dan ketertarikan.

Totto-chan belum bisa membaca jam tapi ia merasa bahwa pembicaraannya dengan pak kepala sekolah sangat lama. Bila saja ia dapat melihat jam ia tentulah akan sangat heran dan tentu saja berterimakasih karena jam 8 ibunya mengantar Totto-chan ke sekolah dan ketika pak kepala sekolah mengatakan bahwa ia sekarang menjadi pelajar sekolah itu dan melihat jam, pak kepala sekolah mengatakan :”Ooo ... ini waktunya makan siang, artinya 4 jam penuh pak kepala sekolah mendengarkan cerita Totto-chan”.

Pemupukan kepercayaan diri juga dilakukan terhadap anak-anak yang memiliki hambatan fisik yang kebetulan bersekolah di Tomoe. Perlombaan pada saat perayaan Hari Olahraga di Tomoe sepertinya dirancang sedemikian rupa sehingga mereka dapat ikut serta. Bahkan dapat menjadi pemenang! Takahashi, seorang murid yang tubuh, tangan dan kakinya berukuran pendek, mampu meraih juara umum. Kaki dan tangan Takahashi yang pendek membantunya memenangkan bermacam-macam lomba, seperti perlombaan menaiki tangga yang anak tangganya tersusun rapat, dan perlombaan merayap ke dalam ikan karper yang terbuat dari kain. Perlombaan yang berhasil membuat seorang anak yang memiliki hambatan fisik merasa dirinya mampu berprestasi seperti anak-anak lainnya.

Bahkan saking ingin menjaga mental anak didiknya, Kepala Sekolah pernah memarahi seorang guru yang pada saat menerangkan pelajaran biologi menanyakan pada seorang anak, apakah anak itu masih punya ekor. Pertanyaan yang wajar ditanyakan seorang guru saat pelajaran. Pertanyaan yang biasa saja bila ditujukan kepada anak normal. Namun pertanyaan tersebut kebetulan ditujukan pada seorang anak yang mengalami kelainan pada pertumbuhan tubuhnya. Kepala Sekolah tak ingin perkembangan jiwa si anak terganggu, karena merasa dirinya dianggap makhluk aneh.

Kelebihan lain Tomoe Gakoen adalah pelajaran praktek yang langsung dibimbing seorang ahli di bidangnya. Seperti yang dialami Totto-chan pada saat Kepala Sekolah memperkenalkan seorang guru baru kepada murid-murid.

(hal. 177 -178)
Saat memandangi guru itu, Totto-chan merasa pernah melihatnya. “Dimana, ya?” ia berusaha mengingat-ingat. Wajah pria itu ramah, terbakar matahari, dan penuh kerutan. Ia merasa telah sering melihat pipa ramping yang tergantung pada tali hitam yang berfungsi sebagai ikat pinggang itu. Tiba-tiba Totto-chan ingat!
“Bukankah Anda petani yang mengolah ladang dekat anak sungai itu?” tanyanya riang pada si pria.
“Benar,” kata “Guru Baru” itu sambil tersenyum lebar.

Kepala Sekolah menghargai kompetensi Si Petani untuk mengajarkan pada murid-murid tentang cara bertani yang baik. Perhatikan reaksi Kepala sekolah ketika Si Petani tersebut menolak disebut “Guru” oleh anak-anak Tomoe. Reaksi yang menunjukkan penghormatan terhadap kompetensi seseorang :

(hal 178)
“Oh, itu tidak benar. Dia guru. Dia Guru Pertanian Kalian,” kata Kepala Sekolah yang berdiri di samping petani itu. “Dengan senang hati Dia setuju untuk mengajari Kalian bagai mana cara bercocok tanam. Ini seperti mendapatkan pembuat roti untuk mengajari Kalian caranya membuat roti. Nah, dengar,” katanya kepada Petani itu, “Katakan kepada Anak-anak apa yang harus Mereka lakukan, lalu Kita akan mulai sekarang juga.”.

SD Tomoe menunjukkan bahwa sekolah bisa diselenggarakan dengan sangat murah namun mampu membekali ketrampilan hidup yang sangat berarti bagi anak-anak. Rahasianya terletak pada konsep pendidikan yang mapan dan keluasan visi seorang guru. Guru tidak harus pandai segalanya, dia hanya perlu menunjukkan kepada murid ke mana harus mencari ilmu hidup yang sebenarnya: petani di sawah, gemericik air terjun, dan benda-benda di museum.

SD Tomoe, mungkin terlalu radikal untuk diikuti sehingga tidak banyak sekolah bisa dan mau menirunya. Bagaimanapun, saya merindukan sekolah seperti itu terutama sekarang ini, ketika banyak orang mengeluh sekolah telah menjadi sekadar komoditi, dan guru sekadar profesi.
Ketika tahun ajaran baru datang dan banyak orangtua mengeluh mahalnya ongkos pendidikan di satu pihak serta rendahnya mutu di lain pihak, saya bermimpi menjadi anak-anak lagi. “Coba dulu saya disekolah di SD seperti Tomoe!”J sambil berharap “kalaupun bukan saya, mungkin generasi saya kelak yang bisa merasakannya, lebih-lebih jika dapat mendirikan Tomoe-Tomoe yang kemudian bisa dirasakan oleh orang banyak”.

Untunglah bermimpi tidak dilarang. Apalagi bermimpi untuk sesuatu yang mulia. Someday, if…if…if…..jika,…jika…dan jika. Mimpi itu saya simpan, kutanam dalam alam bawah sadar. Agar suatu saat di masa depan impian itu bisa menyadarkanku.

Catatan Penutup
Kisah SD Tomoe diceritakan kembali oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang penyiar televisi Jepang, dalam buku “Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi Jendela” yang terbit 1981 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia beberapa tahun kemudian. Tetsuko adalah Totto kecil itu. Dia mengaku sangat beruntung bersekolah di Tomoe.

Tetsuko Kuroyanagi merupakan salah seorang bekas murid Tomoe Gakoen yang menyatakan buku ini adalah kumpulan pengalaman pribadinya selama bersekolah di sekolah yang ruang kelasnya berupa bekas gerbong kereta ini. Buku ditulis sebagai pengganti janji yang pernah diucapkannya kepada Kepala Sekolah untuk menjadi guru di Tomoe. Sebuah janji yang tidak kesampaian karena Tomoe musnah terbakar sewaktu terjadi serangan bom di Tokyo oleh Amerika tahun 1945, pada saat Perang Dunia Kedua berkecamuk. Dia berharap buku ini akan menyebarkan ide-ide Kobayashi, Sang Kepala Sekolah, tentang metode pendidikan yang mendasarkan diri pada menemukan watak baik seorang anak dan mengembangkannya sehingga tumbuh menjadi seorang dewasa dengan kepribadian yang khas. Katannya buku ini merupakan salah satu buku pegangan dalam dunia pendidikan Jepang.

Akibat hancur terbakar oleh bom-bom pesawat Amerika dan Tomoe Gakuen hanya beroperasi selama 8 tahun dari tahun berdirinya sekolah ini yaitu pada di tahun 1937.
SOSAKU KOBAYASHI(18 Juni 1893 - 1963), pendiri Tomoe Gakuen merupakan sosok pendidik yang sangat luar biasa seperti yang diungkapkan oleh Tetsuko Kuroyanagi pada Bab "Catatan Akhir" di buku ini:

"Mr. Kobayashi yakin bahwa setiap anak dilahirkan untuk menjadi baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk orang tuanya. Mr. Kobayashi berusaha menemukan "watak baik" setiap anak dan mengembangkannya agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas"

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip apa yang ditulis oleh penulis buku ini, Tetsuko Kuroyanagi (yang tak lain dan tak bukan adalah si Totto-chan sendiri):
“Aku yakin jika sekarang ada sekolah-sekolah seperti Tomoe, kejahatan dan kekerasan yang begitu sering kita dengar sekarang dan banyaknya anak putus sekolah akan jauh berkurang. Di Tomoe tidak ada anak yang ingin pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai. Dan di pagi hari, kami tak sabar ingin segera sampai ke sana. Begitulah sekolah itu.”

Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan semua memori yang diingatnya saat bersekolah di Tomoe Gakuen. benar-benar pengalaman yang sangat berharga baginya dan dia yakin jika dia tidak ersekolah di Tomoe Gakuen dan tidak bertemu dengan Mr. Kobayashi, sudah tentu kebanyakan orang akan mengecap dia sebagai "anak nakal".

Sayangnya tidak ada dokumentasi mengenai Tomoe Gakuen, seperti ungkapan Tetsuko Kuroyanagi yang mengatakan bahwa:
"Mr. Kobayashi membenci publikasi, bahkan sebelum perang pun dia tidak mengizinkan Tomoe Gakuen difoto atau sistemnya yang tidak konvensional dipublikasikan. itu mungkin salah satu alasan mengapa sekolah kecil dengan jumlah murid paling banyak 50 orang itu luput dari perhatian dan berhasil bertahan. alasan lainnya adalah kenyataan bahwa Mr. Kobayashi adalah tokoh pendidik anak yang sangat dihormati di Departemen Pendidikan"

Namun jangan harap buku yang diterjemahkan dari Totto-chan, Little Girl at The Windows merupakan buku panduan teknis untuk membangun sebuah sekolah yang ideal. Buku ini lebih mirip buku cerita ringan yang dapat menjadi sumber inspirasi siapa saja yang ingin membuat sekolah menjadi tempat pengembangan diri yang menyenangkan. Banyak hal-hal yang menarik yang bisa dilakukan di sekolah, bukan hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung. Sekolah adalah sebuah tempat yang mengasyikkan untuk membina potensi diri dan belajar menikmati interaksi dengan orang lain. Buku ini juga akan membuka wawasan Anda tentang potret kehidupan sehari-hari di sekolah dari kacamata seorang gadis kecil. Sebuah buku ringan dan mengasyikkan, namun isinya sangat berbobot dan layak dibaca semua usia.

Cerita Totto-chan yang sangat ingin tahu [lebih dari anak-anak seumurnya] ditambah dengan cara pendidikan ‘unik’ yang diterapkan Tomoe Gakuen merupakan sebuah pelajaran berharga yang sebenarnya bisa dipetik oleh para guru di Indonesia, atau bahkan diadopsi sebagai cara pendidikan di Indonesia.

Saya pribadi merasa sangat salut kepada Sasuko Kobayashi [1893 - 1963], sang Kepala Sekolah Tomoe yang berhasil menciptakan [dan menerapkan] cara pendidikan yang bisa mengangkat bakat dan minat setiap murid asuhannya dengan tanpa mengesampingkan pendidikan moral dan sopan santun. Sebagian besar teman-teman Totto-chan pun menjadi orang yang berhasil.
Cerita ini mirip laskar pelangi. setelah membaca buku ini saya seolah-olah telah menemukan satu hal yang saya inginkan – sebuah kehidupan yang bermakna dan tentang hal ini saya merasakan gairah. Setiap bangun saya ingin sekali melompat dari tempat tidur dan pergi ke sekolah, dan saya bersemangat untuk hal apa saja yang hari itu saya kerjakan. Itulah kemewahan yang langka di dunia ini.
segera (miliki) dan baca

Tidak ada komentar: