Jumat, 24 Oktober 2008

Museum Kars Dunia antara Kepentingan Ekonomi Versus Kepentingan Konservasi

(sebuah catatan refleksi selepas kunjungan di desa Gebangharjo)



Potensi Kars dan Permasalahannya

Kawasan kars adalah salah satu tipe kawasan yang sangat khas. Letak kekhasan itu bukan terletak pada kesan masyarakat umum bahwa kawasan kars merupakan daerah dengan lahan kritis, tandus, kering dan masyarakat pada umumnya yang miskin. Tapi pada kekhasan yang merujuk pada keunikan ekosistem dimana kawasan kars mengandung sumberdaya alam hayati dan nirhayati yang potensial untuk mendukung kehidupan manusia. Apalagi potensi itu didukung oleh luas kawasan kars di seluruh wilayah kepulauan Indonesia yang mencapai hampir 20 % dari total luas wilayah.

Keberadaan kawasan kars di Indonesia, dewasa ini dianggap memiliki nilai-nilai yang sangat strategis. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No.: 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars, disebutkan bahwa sumberdaya pada kawasan kars mempunyai nilai-nilai strategis, yaitu: nilai ilmiah, nilai ekonomik, dan nilai kemanusiaan. Nilai ekonomi berkaitan dengan usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, pengelolaan air dan pariwisata. Nilai ilmiah, berkaitan dengan ilmu-ilmu kebumian, speleologi, biologi, arkeologi dan paleontologi. Sedangkan Nilai kemanusian, berkaitan dengan keindahan, rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual dan agama atau kepercayaan.

Dibalik potensi dan nilai-nilai strategis yang mengandung kemanfaatan, kondisi kawasan kars di Indonesia menunjukkan lingkungannya yang sangat rawan terhadap kegiatan di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kawasan kars merupakan satuan ekosistem yang sangat rentan terhadap perubahan. Apabila salah satu komponen Iingkungan pada kawasan kars mengalami perubahan akan diikuti oIeh perubahan komponen Iingkungan lainnya, untuk mencapai keseimbangan Iingkungan baru. Dalam proses mencapai keseimbangan Iingkungan baru, pada umumnya akan diikuti oleh proses yang menjurus kemerosotan kualitas Iingkungan hidup. Perubahan komponen Iingkungan yang banyak mengundang permasalahan adalah akibat pemanfaatan sumberdaya kawasan kars untuk tujuan ekonomi dalam bentuk aktivitas penambangan, penebangan pohon, peternakan, pertanian, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas domestik lain. Permasalahan akan bertambah runyam ketika terjadi benturan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi. Untuk itulah diperlukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan kawasan kars agar kedua kepentingan tersebut bisa sinergis.

Selama ini, usaha pengelolaan dan pemanfaatan kawasan kars di Indonesia masih berpedoman pada Keputusan Menteri ESDM No.: 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars. Peraturan tersebut oleh beberapa daerah yang memiliki kawasan kars luas, dimodifikasi dan diadaptasi sesuai dengan kepentingan daerahnya masing-masing ke dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Namun adanya berbagai peraturan yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan kars belum bisa menjamin terwujudnya pembangunan yang ramah kars. Apalagi di era otonomi daerah ini, dimana tiap daerah berlomba-lomba menggali potensi sumberdaya yang dimiliki untuk menggenjot PAD (Pendapatan Asli Daerah). Bagi daerah yang sebagian wilayahnya kaya sumberdaya mungkin tidak menjadi permasalahan. Tapi, bagi daerah yang secara geologis sebagian besar wilayahnya terdiri dari kawasan kars seperti Pacitan, Gunung Kidul, dan Wonogiri, dimana mereka ”hidup dari ’makan’ batu”, menghadapi tantangan yang lebih rumit. Mereka harus pintar menerapkan prinsip keseimbangan ekologis yaitu mendapatkan manfaat ekonomi sumberdaya kars yang tetap selaras dengan upaya pelestarian nilai-nilai strategis yang dimilikinya atau secara teknis diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya kars sesuai dengan klasifikasi kelasnya. Misalnya, jika pengusaha ingin melakukan penambangan batuan untuk produksi semen maka dilakukan di kawasan kars kelas III dan sedapat mungkin mengembangkan produksi semen dengan cara-cara yang ramah lingkungan. Menurut Emil Salim, teknologi produksi semen di Indonesia boros energi dan menimbulkan emisi CO2 yang menyumbang pada kenaikkan suhu global. Kini, para produsen semen berbagai negara, antara lain Jepang, sudah menerapkan pola produksi blended cement yang bisa menurunkan separuh emisi CO2. (Kompas, 05 Juni 2003). Artinya, kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan sebetulnya tidak dilarang selama kaidah-kaidah konservasi ditaati. Begitu juga untuk kegiatan lainnya.


Museum Kars Dunia : Antara Kepentingan Ekonomi Versus Kepentingan Konservasi







“Kawasan Kars Dunia

Itulah bunyi spanduk penyambutan yang berdiri kokoh di pintu masuk menuju museum kars dunia di Desa Gebangharjo, Pracimantoro, Wonogiri. Embel-embel “kars dunia” semakin menambah rasa penasaran bagi siapapun yang hendak mengunjungi kawasan wisata kars tersebut.

Dipilihnya Desa Gebangharjo sebagai lokasi museum kars dunia karena secara geografis terletak di tengah kawasan ekokars gunung sewu. Di museum yang yang berada di tanah seluas 30 hektare itu, terdapat tujuh gua yang terdiri atas Gua Tembus, Gua Mrico, Gua Sodong, Gua Sapen, Gua Bunder Potro, Gua Gilap dan Gua Sonyaruri. Gua-gua tersebut menurut cerita masyarakat setempat mempunyai kaitan erat dengan sejarah Kerajaan Majapahit. Tak heran jika kemudian banyak pengunjung datang kesana untuk “laku spiritual”

'

Pembangunan museum kars, seperti diungkap Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, antara lain bertujuan mempromosikan Indonesia kepada dunia melalui kekayaan dan keunikan kars-nya (a). Secara umum pembangunan museum kars untuk menyediakan sarana visualisasi kawasan kars dalam miniatur. Tujuannya adalah menyediakan informasi kawasan kars untuk kepentingan pusat informasi kars Indonesia, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata edukatif, konservasi dan pemberdayaan masyarakat (b). Sayangnya, kondisi obyek geowisata nampak memprihatinkan karena sudah banyak coretan dan sampah di dalam gua yang dilakukan oleh pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Keadaan ini jauh dari upaya untuk melakukan edukasi konservasi kars. Keluhan juga datang dari pengunjung yang lebih dulu menggunakan lokasi tersebut untuk laku spiritual dan juga para pemilik gua yang lahannya belum diganti tapi sudah dirusak oleh pengunjung.

Sampai saat ini, pembangunan museum kars dunia masih terus berlangsung. Pembangunan museum kars dunia melibatkan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Pemerintah Pusat mendapat jatah membangun bangunan utama beserta isinya. Dalam hal ini, Pemerintah Pusat telah menggelar lelang manajemen konstruksi senilai Rp 400 juta. Penyelesaian pembangunan gedung utama ini dijadwalkan rampung tahun ini.. Pemprov akan membangunkan prasarana infrastruktur bernilai Rp 8 miliar dan membangun sarana fisik gedung museum bernilai Rp 23 miliar yang ditargetkan selesai tahun ini atau pembangunan secara menyeluruh diharapkan rampung pada tahun 2009. Sedangkan Pemkab Wonogiri kebagian mengurus masalah pembebasan lahan yang masih bermasalah dan infrastruktur pendukung lainnya. Sedangkan pengelolaan diserahkan kepada Dinas Perhubungan Pariwisata dan Seni Budaya (DPPSB) (c).

Kawasan kars merupakan kawasan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan. Apresiasi perlu diberikan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangakan kawasan kars sebagai kawasan wisata dunia yang harapannya tentu berujung pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal. Namun, ditetapkannya kawasan kars sebagai kawasan wisata menimbulkan kekhawatiran karena bisa jadi penetapan sebagai kawasan wisata bisa mengindikasikan dua hal yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan konservasi. Kepentingan ekonomi untuk menggenjot penerimaan PAD dan kepentingan konservasi yang mengarah ke edukasi yaitu dalam rangka memperkenalkan kars kepada khalayak umum. Adanya kepentingan konservasi tersebut muncul ketika Pemkab Wonogiri menginstruksikan kepada Kepala Desa (dikenal dengan sebutan Polo) Gebangharjo agar warganya tidak menambang batuan kars. Langkah ini diambil karena adanya kegiatan penambangan dapat merusak citra sebagai museum kars dunia. Padahal biasanya warga menambang secara tradisional batu gamping yang berada di atas lahannya sendiri. Kegiatan penambangan tradisional hanya merupakan pekerjaan sampingan warga untuk menambah pendapatan, karena minimnya pendapatan dari hasil bercocok tanam (d). Pemerintah kemudian menyediakan alternatif lowongan pekerjaan di bidang pariwisata dengan membangun museum kars dunia. Lalu disusul dengan memberi pembekalan teknis berupa pelatihan kewirausahaan. Sayangnya, hambatan datang dari rendahnya tingkat pendidikan rata-rata penduduk lokal dan mental kebiasaan masyarakat yang sulit diubah. Bukan tidak mungkin nantinya warga pendatang yang justru akan mengisi lowongan pekerjaan di bidang tersebut, yang berakhir pada termarginalisasinya penduduk lokal. Oleh karena itu, penting sekali diketahui lebih jauh tentang rencana pengembangan museum kars dunia di Desa Gebangharjo yang didasarkan pada prinsip "pembangunan oleh masyarakat" dan bukan “melulu” keinginan Pemerintah yang lebih banyak menggunakan pendekatan teknokratis dan top-down planning.

Fakta tentang perbenturan antara kepentingan ekonomi konservasi dan kepentingan konservasi terlihat jelas dari tidak berlakunya pelarangan kegiatan penambangan tradisional di Desa lain. Karena di Desa Joho yang tidak jauh dari Desa Gebangharjo, terdapat Pabrik batu gamping yang cukup besar. Hal ini menunjukkan Pemkab Wonogiri tidak konsisten dalam usaha konservasi kars secara keseluruhan. Kepentingan konservasi hanya diperlihatkan ketika ada “uang” yang bersembunyi dalam proyek pembangunan museum kars yang berlabel dunia. Padahal Kegiatan eksploitasi untuk mendapatkan manfaat ekonomi sekalipun harus tetap diselaraskan dengan upaya pelestarian nilai-nilai strategis yang dimiliknya. Setiap upaya pemanfaatkan sumberdaya pada kawasan kars untuk tujuan ekonomi harus dengan sekecil mungkin menimbulkan dampak negatif terhadap Iingkungan. Dengan demikian, landasan dan hakekat pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan di museum kars dunia atau di kawasan kars lainnya.

Pustaka

(a) Kars Indonesia Bertaraf Internasional http://www1.esdm.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1050&Itemid=94

(b) ibid

(c) Tahun ini, pembangunan Museum Karts Pracimantoro dimulai

http://www.pracimantoro.wonogiri.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=31&artid=60

(d) Hasil wawancara dengan Kepala Desa Gebangharjo pada 29 Maret 2008


Tidak ada komentar: