Jumat, 24 Oktober 2008

Optimalisasi Pemberdayaan UKM

(Studi Kasus Paguyuban KSP Ngudi Rejeki Desa Kebondalem Kidul, Kec. Prambanan)

Oleh Sudarmono dan Dicky Fransisco


Economic power of a nation determined by its human welfare index. The nation who has independent society and willingness to atttain a certain aim for its prosperity will has a fast growth to be a strong economic nations. It’s caused by self sufficient society will assists government to overcome poverty and create a balance welfare.

The willingnes to be independent is already had by some Kebondalem Kidul community, it’s shown by the people’s initiative to enterprenuer although still at small scale enterprises. They even established small enterprise association that was using as medium for grouped and discussed. Through that small enterprise association named by “Ngudi Rejeki”, people who are the member’s be able to share enterprise experience to each others, even could loan the fund with low interest and simple procedures from small enterprise association Ngudi Rejeki

Keywords : independency, small enterprise association,prosperity


Pendahuluan

Kemiskinan merupakan masalah sosial penting yang perlu ditangani Negara dan juga sangat membutuhkan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Penanggulangan kemiskinan menjadi agenda kebijakan penting bukan hanya secara moral Negara harus mengemban tanggung jawab lewat amanat konstitusi, akan tetapi hal itu telah menjadi komitmen global sejak adanya Deklarasi Millennium tahun 2000, dan Indonesia terikat dengan deklarasi tersebut.

Untuk mengemban amanat tersebut, aspek fundamental yang harus segera diubah yaitu mengubah paradigma pembangunan. Sudah saatnya dominasi paradigma pembangunan yang lebih mementingkan konsep “besaran kue, baru dibagi” dan “tricle down effects” menuju paradigma pemberdayaan masyarakat, dimana orang miskin tidak lagi dilihat sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku pembangunan, dan proses pembangunan diarahkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ketika konsep “people centered development” dan “bottom-up development planning”, menjadi wacana pembangunan yang popular dan banyak diadopsi dalam proses kebijakan publik, seluruh kebijakan harus pro miskin. Sayangnya, dalam praktek masih banyak ditemui kebijakan publik dalam proses pembangunan yang memiskinkan dan mengkerdilkan rakyat (Darwin, 2005;4)

Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan yang mencoba menerapkan konsep “people centered development” adalah dengan memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia.

UKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Seperti diketahui, berdasarkan data yang dihimpun oleh Biro Pusat Statistik (BPS), kini terdapat 40-an juta usaha kecil yang merupakan 99,85% dari keseluruhan jumlah pengusaha nasional; 0,14% usaha menengah dan 0,01 % usaha besar yang bertebaran di seluruh penjuru tanah air. Apabila ditilik dari segi permodalan dan naluri berusaha, UKM memang relatif lemah. Akan tetapi, jika ditinjau dari segi milintasi atau keuletan dalam mempertahankan kelangsungan hidup berusaha dan tingginya semangat kemandirian, mereka memiliki nilai lebih. Apalagi sektor usaha kecil yang tahan banting ini terbukti memiliki kontribusi yang begitu besar terhadap penyerapan tenaga kerja, yakni meliputi 88% dari seluruh tenaga kerja di Indonesia yang nota bene juga berarti mengurangi jumlah pengangguran yang semakin hari semakin memperlihatkan grafik yang meninggi[1].

Usaha pemberdayaan dan pengembangan UKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor dan lain-lain.


Belajar dari Sejarah

Sejarah selalu mengajarkan kebaikan bagi siapa saja yang mau belajar “gagal untuk maju”. Belajar dari krisis ekonomi 8 - 9 tahun terakhir, UKM harus tetap dipandang sebagai “senjata” strategis menghadapi kemelut ekonomi yang tidak menentu di masa mendatang. Idealnya, saat ini maupun mendatang, UKM harus dipandang bukan saja sebagai sektor riil yang kuat namun sekaligus sebagai benteng strategis mengahadapi krisis ekonomi dan politik yang kemungkinan besar masih akan terjadi. Secara sosial dan politik sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika sektor UKM sangat lemah dan kemudian kita dilanda krisis ekonomi seperti yang terjadi sejak 1997.

Selama ini Pemerintah men-generalisasi permasalahan UKM, sehingga beriplikasi terhadap strategi yang hampir sama. Di masa lalu, organisasi ekonomi atau produksi di pedesaan, seperti KUD dan kelompok tani, umumnya adalah bentukan pemerintah pusat (top down) dan fungsinya lebih banyak untuk melancarkan kepentingan pejabat dalam menjalankan pekerjaan birokrasi di tingkat kecamatan dan pedesaan. Ada kesan di kalangan masyarakat bahwa pembangunan koperasi dilakukan dengan pendekatan top down, sehingga timbul pandangan seakan koperasi “perpanjangan tangan” pemerintah. Sehingga bisa dimengerti jika pada saat ini banyak KUD yang sudah tidak jalan, dan bahkan meninggalkan sejumlah tunggakan hutang yang tidak sedikit (Suyono,1995;45).

Untuk itulah, diperlukan suatu studi yang matang dan mendalam (diagnosis) untuk mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh UKM yang akan dibina sebelum melakukan intervensi. Tanpa studi dan perencanaan yang matang, maka usaha program pengembangan (meski dengan niat yang baik) akan menemui banyak kendala, misalnya : (1) salah sasaran, (2) sia-sia (mubazir), dan (3) banyak manipulasi dalam implementasinya. Kasus munculnya koperasi (dan UKM di dalamnya) “dadakan” ketika diluncurkan kebijakan kredit tanpa bunga atau kredit dengan bunga yang rendah, dapat dijadikan salah satu contoh kegagalan usaha pengembangan UKM yang dilakukan pemerintah.

Selain itu, Kerapuhan kelembagaan bisa dipandang sebagai “biang keladi” kegagalan program penanggulangan kemiskinan, yang pada gilirannya hal ini tercermin pada perekonomian nasional yang tidak dapat mengelak dari krisis. Selama ini para pengambil kebijakan dinilai kurang paham terhadap pentingnya sektor UKM dalam menopang perekonomian nasional, juga dinilai kurang paham tentang pentingnya peran kelembagaan dalam penanggulangan kemiskinan. Jika sejak awal kelembagaan UKM dibangun secara mantap, maka bukan saja orang miskin akan terbebas dari krisis ekonomi yang gawat (seperti yang terjadi hingga saat ini), melainkan juga perekonomian nasional kita akan dapat mengambarkan kehebatan transformasi perekonomian masyarakat yang dihiasi tatanan sosial yang patut dicontoh masyarakat di banyak negara.

Untuk mendukung gerakan penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada pengembangan UKM, maka kami mencoba melakukan studi tentang permasalahan dan strategi pengembangan Paguyuban Kelompok Simpan Pinjam (KSP) Ngudi Rejeki di Desa Kebondalem Kidul, Kec.Prambanan. Dengan studi ini diharapkan, pemerintah lebih hati-hati dalam menerapkan kebijakan pengembangan UKM untuk menanggulangi kemiskinan.

Dalam studi ini, kami memilih Paguyuban KSP Ngudi Rejeki karena paguyuban ini digerakkan oleh mayoritas ibu-ibu rumah tangga yang mencoba membantu perekonomian keluarganya. Paguyuban ini berkembang atas kemauan untuk hidup mandiri dan sejahtera.

Kami mewawancarai 10 anggota Paguyuban KSP Ngudi Rejeki. Semua responden dipilih secara purposive random sampling, dengan tetap memperhatikan komposisi dan variasi yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian. Responden yang kami wawancarai yaitu Pengurus Paguyuban KSP Ngudi Rejeki dan sisanya adalah anggota.


Sekilas tentang Paguyuban Kelompok Simpan Pinjam Ngudi Rejeki

Lahirnya Paguyuban KSP Ngudi Rejeki berawal atas inisiatif Ibu Fitri Karyanti yang prihatin karena banyak ibu-ibu yang memiliki usaha kecil di dusunnya, meminjam uang kepada rentenir dengan alasan kemudahan administrasi. Seperti diketahui bunga kredit yang ditetapkan oleh renternir sangat tinggi jika dibandingkan bunga kredit perbankan. Jika ingin meminjam ke bank, mereka terbentur oleh kendala yang sebaliknya. Kesulitan administrasi dan lamanya pencairan pinjaman.

Pada tahun 2002, Dikmas Klaten mengadakan pelatihan mengenai manajemen keuangan mikro di pendopo kabupaten klaten. Salah satu warga kebondalem kidul yang ikut pelatihan tersebut yaitu Ibu Fitriyanti. Karena menjadi perwakilan desa, ibu fitriyanti merasa punya kewajiban untuk menularkan ilmunya kepada kawan-kawan pengusaha mikro lainnya terutama kepada ibu-ibu yang mempunyai usaha di sekitar tempat tinggalnya untuk membentuk kelompok simpan pinjam. Maka, dikumpulkanlah para pengusaha mikro sebanyak 35 orang di rumah Bapak Slamet/ibu Tuty. Pertemuan itu lebih bergairah karena satu bulan berikutnya LSM Satu nama menjanjikan akan memberikan bantuan modal, jika terbentuk paguyuban kelompok simpan pinjam. Sayangnya, janji LSM tersebut tidak terbukti. Tidak ingin mensia-siakan telah mengumpulkan orang. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengumpulkan saham (simpanan pokok) bersama-sama sejumlah Rp.50.000 per anggota. Namun, sebelum tercapai kesepakatan tersebut.

Setelah mengikuti pelatihan kewirausawan yang diselenggarakan oleh Dikmas Klaten selama tiga hari di Pendopo Kecamatan Prambanan, atas inisiatif dan kemauan untuk bangkit, akhirnya Ibu Fitri mengajak ibu-ibu yang mempunyai usaha di sekitar tempat tinggalnya untuk membentuk kelompok usaha mikro yang diberi nama “Ngudi Rejeki”. Kelompok Usaha Mikro atau lazim disebut Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berbentuk paguyuban yang resmi berdiri pada tanggal 17 April 2002 dan beroperasi di Dusun Banjarsari, Kec.Prambanan, Kab.Klaten.

Seperti organisasi pada umumnya, Paguyuban KSP Ngudi Rejeki ini juga mempunyai tujuan yang akan diraih. Tujuan itu berupa tujuan umum dan khusus. Tujuan umumnya yaitu menguatkan perekonomian masyarakat Desa Kebondalem Kidul khusunya Dusun Banjarsari, menciptakan masyarakat desa yang mandiri. Sedangkan Tujuan Khususnya adalah meningkatkan perekonomian dan usaha mikro anggota, meningkatkan kemitraan antar anggota, dan menyediakan pinjaman modal usaha bagi anggota[1].

Paguyuban ini didirikan dan dimotori oleh kaum wanita setempat. Jumlah anggota mulai berdiri hingga sekarang yaitu 23 anggota dengan komposisi 19 perempuan dan 4 laki-laki. Dari kompoisi ini, wajarlah jika jajaran pengurus Paguyuban KSP Ngudi Rejeki diisi oleh kaum hawa. Namun, Paguyuban KSP Ngudi Rejeki tetap menganut asas keterbukaan dimana setiap anggota Paguyuban terbebas dari pembatasan-pembatasan yang ada baik suku, agama, gender, aliran maupun golongan. Hal ini terlihat jelas dari latar belakang anggota dan usaha yang beragam.


Jumlah anggota Paguyuban tidak bertambah bukan berarti tidak ada pemintanya, tetapi lebih disebabkan prinsip kehati-hatian yang diterapkan pengurus terhadap ketakutan bertambahnya anggota yang kesulitan mengangsur pinjaman walaupun menurut penuturan Ketua Paguyuban, tidak ada anggotanya yang terlambat mencicil pinjaman.

Paguyuban ini menggeluti bisnis utama simpan pinjam. Jenis usaha simpan pinjam dipilih, karena hal ini berkaitan langsung dengan kebutuhan yang dihadapi para anggota, yakni pinjaman uang dengan bunga yang masuk akal dan prosedurnya tak berbelit seperti bank. Awal pembentukan modal kelompok berasal dari simpanan wajib anggota dan iuran bulanan. Mereka menghimpun dana/modal dari anggota dan meminjamkannya kepada anggota yang membutuhkan. Semakin besar simpanan wajib yang ditetapkan maka semakin besar modal yang bisa didapat dari kelompok.

Pola yang diterapkan oleh Paguyuban KSP Ngudi Rejeki, mirip praktek yang terjadi pada koperasi kredit atau koperasi simpan pinjam. Menurut Parjimin dan Djabaruddin (dalam Panji Anoraga dkk, 1993;23) dijelaskan bahwa “koperasi kredit atau koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang bergerak dalam lapangan usaha pembentukan modal melalui tabungan-tabungan para anggota secara teratur dan terus-menerus untuk kemudian dipinjamkan kepada para anggota dengan cara mudah, murah, cepat, dan tepat untuk tujuan produktif arau kesejahteraan”. Boleh dikatakan Paguyuban yang sudah berumur lebih dari 4 tahun ini merupakan embrio dari koperasi kredit.

Meskipun jumlah anggotanya stagnan tetapi modal usaha terus meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Kepada para anggota dikenakan kewajiban menyetor simpanan pokok per periode sebesar Rp 100.000[2],- dengan iuran bulanan Rp 1.000[3],- serta hibah dari SMEDC UGM Rp.9.072.000,-. Dari data tersebut, untuk periode III bulan Januari (siklus 2 tahunan) kini berhasil memiliki dan mengelola dana senilai Rp 11.500.000[4] yang berputar tiap 2 minggu sekali dengan bunga pinjaman 0,5 %. Berapapun jumlah yang ingin dipinjam anggota, mereka harus mengangsur selama 10 kali dalam tempo 5 bulan.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Paguyuban KSP Ngudi Rejeki yaitu berupa Pertemuan rutin bulanan (tanggal 17) di rumah Ibu Padmo Wiharjo, arisan bulanan, dan Penyediaan pinjaman dana usaha bagi anggota[5].

Sesuai dengan fenomena-fenomena faktual di lapangan, Paguyuban KSP Ngudi Rejeki telah memberikan kontribusi sangat berarti baik secara moril maupun materiil bagi kalangan komunitas anggotanya. Kontribusi secara moril berupa -menumbuhkan iklim kebersamaan berusaha yang kental dengan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai kekeluargaan. Adapun kontribusinya secara materiil -adalah anggota memperoleh pinjaman modal untuk kemajuan usaha dan ikut membantu pemasaran produk secara getok tular (dari mulut ke mulut)


Paguyuban KSP Ngudi Rejeki dan Kendalanya

Apabila kita berbicara mengenai pemberdayaan Paguyuban UKM, maka harus memperhatikan juga hambatan-hambatan dalam pengembangan Paguyuban UKM. Dalam upaya perkembangannya menjadi Paguyuban UKM yang tangguh, Paguyuban ini juga bergelut dengan berbagai kendala dan permasalahan yang beragam, termasuk tetap bertahan walaupun gempa melanda daerah mereka. Beberapa hambatan dan kendala utama Paguyuban KSP Ngudi Rejeki untuk berkembang adalah :

Pertama, Produksi dan Pemasaran. Anggota kelompok umumnya tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh, memproses dan mengelola produk serta pemasaran yang terkait dengan bagaimana produk yang dihasilkan laku terjual agar UKM dapat terus berproduksi. Akan tetapi, paska gempa 27 Mei 2006 banyak warga anggota yang mengalami hambatan dalam melanjutkan usahanya karena rusaknya semua peralatan dan fasilitas usaha yang dimilki. Untuk itu warga anggota membutuhkan dana yang cukup besar untuk menjalankan kembali usaha mereka. Walaupun uang kas kelompok tetap bergulir, tidak semua anggota dapat meminjam dana usaha karena terbatasnya dana dan kebutuhan anggota yang semakin membengkak.

Kedua, keterbatasan sumberdaya finansial karena Paguyuban ini bersifat mikro dengan modal kecil, tidak berbadan hukum dan manajemen yang masih tradisional sehingga sektor ini tidak tersentuh oleh pelayanan lembaga keuangan formal (Bank) yang selalu menerapkan prinsip perbankan dalam memutuskan pemberian kredit. Padahal permodalan terkait dengan berlangsungnya proses produksi. Jika modal tidak bertambah alamat usaha mereka akan stagnan dan menuju kolaps.

Ketiga, aspek dimensi kelembagaan. Perlu diketengahkan bahwa kemajuan perkonomian suatu masyarakat, termasuk masyarakat pedesaan, banyak ditentukan oleh faktor non-productive resources, terutama sistem kelembagaan yang dikembangkan dalam masyarakat tersebut. Pendeknya, keberhasilan dalam membangun sistem kelembagaan yang sehat itulah yang menjadi “kunci kemajuan” perekonomian suatu masyarakat. Oleh sebab itu, jika sistem kelembagaan suatu masyarakat dibiarkan rapuh maka tidak akan ada peluang bagi masyarakat tersebut memajukan atau memandirikan perkonomiannya.

Dari segi kelembagaan, pada awal pembentukan sudah mencirikan sebagai organisasi yang bergerak pada usaha simpan pinjam yang sedang berkembang.Hal ini dicirikan antara lain oleh :

  1. Ada tujuan yang hendak diraih
  2. Ada administrasi yang jelas
  3. Struktur organisasi yang sederhana
  4. Ada aturan main (hak dan kewajiban anggota dan pengurus) yang otonom dan diakui secara bersama-sama oleh anggota Paguyuban, walaupun tanpa aturan yang mengikat[1].
  5. Ada kegiatan rutin dan terprogram
  6. Ada rencana kegiatan di masa depan
  7. Pengurus menjalankan fungsi-fungsi administrasi dan kepemimpinan dalam Paguyuban.

Keempat, kemampuan sumber daya manusia yang terbatas. Situasi dan kondisi ini menjadi masalah vital karena sebagian anggotanya hanya tamatan sekolah menengah yang pengetahuannya terbatas. Agar bisa berkembang dengan baik, anggota Paguyuban membutuhkan pembinaan dan pelatihan agar dapat mewujudkan Paguyuban yang tangguh dan profesional.


Perubahan dan Strategi Kelembagaan Paska Hibah SMEDC UGM

Di penghujung 2006, difaslitasi oleh KKN UGM, SMEDC UGM menyalurkan hibah bantuan UKM kepada Paguyuban KSP Ngudi Rejeki senilai Rp.9.072.000. Dengan adanya modal tambahan tersebut diharapkan dapat mempercepat kemajuan usaha UKM Ngudi Rejeki.

Perkembangan modal yang terkerek naik setelah mendapatkan hibah dari SMEDC UGM telah membuat iklim usaha semakin menggeliat. Pun demikian dengan perubahan secara kelembagaan. Sebagai organisme, Paguyuban KSP Ngudi Rejeki tentunya akan mengalami penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan eksternal dengan adanya hibah tersebut. Perubahan lingkungan eksternal memerlukan penyesuaian internal (internal adjustment). Sangat identik dengan doa yang didengungkan oleh sebagaian LSM di Indonesia “…marilah kita berdoa sesuai dengan funding kita masing-masing…”

Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan secara organisasional yang melanda Paguyuban KSP Ngudi Rejeki paska hibah dari SMEDC UGM. Faktor pertama adalah internalisasi ide-ide baru yang relatif sulit ditolak oleh organisasi[1]. Kedua, sejumlah studi menunjukkan bahwa perubahan pada struktur dan kultur yang terjadi dalam organisasi biasanya disebabkan oleh faktor eksternal.[2]

Mengingat salah satu basis legitimasi bagi organisasi adalah relevansi dan koherensi dengan lingkungan yang mempengaruhinya (stakeholder), maka organisasi dituntut untuk senantiasa menyesuaikan dirinya dengan perubahan lingkungan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk melakukan penyesuaian tadi adalah dengan menata kembali struktur dan aturan main dalam organisasi. Penataan kembali organisasi inilah yang akhirnya melibatkan pencarian akan format atau disain organisasi yang dianggap lebih sesuai dengan perkembangan lingkungan atau lebih tepatnya keinginan stakeholder (SMEDC UGM-red).

Dalam merespon berbagai tuntutan tersebut, pihak pengurus lebih menyikapi keinginan stakeholder dengan menggunakan Logika kepatutan yang lebih menekankan pada pertimbangan-pertimbangan moral dalam memilih dan melakukan tindakan perubahan. Beberapa perubahan organisasional yang ditempuh Paguyuban KSP Ngudi Rejeki untuk melaksanakan logika kepatutan yaitu dengan :

Pertama, perubahan desain dan struktur organisasi. Respon organisasi paska hibah SMEDC yaitu dengan merubah struktur organisasi. Secara struktural, ditambahkan pos jabatan untuk bendahara yang khusus mengelola dana hibah. Hal ini untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas kepada pihak SMEDC.

Kedua, perubahan aturan main organisasi. Tuntutan awal dari SMEDC yaitu tentang bunga pinjaman dan perputaran modal. Sebelumnya, modal berputar sebulan sekali dengan bunga pinjaman 2 %. Setelah dana hibah SMEDC didapat, maka Paguyuban KSP Ngudi Rejeki harus memutar modalnya tiap 2 minggu sekali dengan bunga pinjaman 0,5 % seperti keinginan SMEDC UGM. kondisi ini tentunya menguntungkan bagi anggota karena bunga pinjaman ringan dan dalam tempo 2 minggu bisa mendapatkan modal.


Rekomendasi

Demi upaya penciptaan UKM yang tangguh, pihak SMEDC jangan hanya bersemangat menyalurkan hibah kepada UKM, karena ada misi dan tanggung jawab lain yang perlu diperhatikan pascahibah yaitu keberlanjutan usaha (business sustainability). Berdasarkan wawancara yang kami lakukan dengan Ketua Paguyuban KSP Ngudi Rejeki, mereka berkeinginan agar Paguyuban UKM pasca memperoleh hibah dari SMEDC UGM antara lain ingin selalu dibina dan dimonitor, agar hibah yang diperoleh tidak habis sia-sia tanpa ada perkembangan berarti terhadap usahanya. Tentunya keinginan ini sulit menjadi kenyataan, bila tugas SMEDC UGM hanya terbatas pada menyalurkan hibah, karena itu berarti menunjukkan SMEDC hanya sampai pada tataran output (terserapnya dana) bukan outcome (efek penyaluran hibah).

SMEDC juga perlu menjalankan fungsi pembinaan dan memantau perkembangan pascahibah agar terlihat kemajuan/kemunduran usaha UKM dari waktu ke waktu. Hal ini untuk menunjukkan efektivitas nyata penyaluran dana serta pembinaan terhadap UKM.

Setelah masalah permodalan sudah dapat sedikit teratasi maka langkah selanjutnya yaitu bagaiamana Paguyuban KSP Ngudi Rejeki mempunyai kemampuan untuk dapat me-manage keuangan agar dapat dioptimalkan demi pengembangan skala usahanya. Ketrampilan baru dalam mengelola keuangan perlu dimilki anggota seperti penyusunan rencana usaha, pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok, serta pemupukan modal. Upaya ini dapat ditempuh oleh pemerintah dengan memberikan pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan.


Tuntutan-tuntutan SMEDC

20 Januari 2007

“Atas nama Posko UGM Peduli Bencana saya mengucapkan selamat atas bergulirnya dana bantuan dari Posko UGM. Saya sudah melihat pembukuan kelompok Ngudi Rejeki, saya senang dan gembira karena ternyata pengguliran berjalan lancar. Bahkan tiap pertemuan ada tambahan 2 anggota yang mendapat jatah. Banyak sekali saya melihat laporan tersebut. Saya mohon ini dipertahankan dan sebisa mungkin menambah anggota kelompok agar seluruh pengusaha mikro yang ada di kebondalewm Kidul untuk pembinaan lebih lanjut mohon ibu-ibu sekalian tidak ragu-ragu untuk menghubungi SMEDC UGM.”

Konsultan SMEDC, Agus Sutata


Daftar Pustaka

Buku

Anoraga,Panji.1993,Dinamika Koperasi.Rineke Cipta,Jakarta.

Darwin,Muhajir,2005, Memanusiakan Rakyat,Benang Merah,Yogyakarta.

Edilius,dkk,1994,Manajemen Koperasi Indonesia,Rineke CIpta,Jakarta.

Krisnajaya,Made dan Erwan Agus.2006,Modul Pembangunan Institusi.RPKPS

Suyono,AG,1995,Koperasi dalam Sorotan Pers;Agenda yang Tertinggal, Pustaka Sinar,Jakarta.

Koran

Widianto,Satrio, Pemberdayaan UKM Jangan Hanya Slogan, Pikiran Rakyat, Sabtu, 30 Juli 2005.

Referensi

UKM Ngudi Rejeki, 2006, Proposal Permohonan bantuan tambahan modal.






[1] Gorges, 2001:138. dalam modul pembangunan kelembagaan

[2] Toye, 1995:63. dalam modul pembangunan kelembagaan



[1] Aturan bersifat informal berdasarkan kesadaran.




[1] Proposal pengajuan bantuan dana

[2] Sebagai perbandingan, pada tahun pertama simpanan wajib anggota adalah Rp.20.000, tahun ke-2 Rp.50.000, dan tahun ke-4 Rp.100.000,

[3] iuran bulanan tetap Rp 1.000,- dari awal berdiri hingga sekarang

[4] Aset dihitung dari simpanan wajib, iuran bulanan dimulainya period ke-4 di bulan November hingga april, bunga pinjaman, dan dana hibah dari SMEDC UGM

[5] masa pinjam 5 bulan dengan bunga 0,5 % yang dibayar tiap dua minggu sekali





[1] Pemberdayaan UKM Jangan Hanya Slogan Oleh Satrio Widianto (Pikiran Rakyat, ,Sabtu, 30 Juli 2005)


Tidak ada komentar: