Jumat, 24 Oktober 2008

Patrick Moore, Hikayat Sang Laskar Pelangi


Dr. Patrick Moore, salah seorang pendiri Greenpeace di tahun 1971 dan Presidennya antara 1977 hingga 1979, menghabiskan waktunya di Indonesia pertengahan Februari 2006 lalu. Sayangnya, gerakan lingkungan di Indonesia tidak berupaya memperoleh manfaat dari segudang pengalamannya. Kemungkinannya karena kehadirannya kali ini memang tidak diketahui atau karena gerakan lingkungan mungkin tidak lagi bersedia bertemu dengannya. Pat Moore, demikian ia biasa dipanggil, kini kerap dicap sebagai pengkhianat oleh organisasi lingkungan yang dahulu turut dibesarkannya. Bekas rekannya akrabnya, Tzeporah Berman, menyatakan bahwa Pat Moore

“...has gone from being the guard dog of the environment to the lap dog of industry.”

Tentu banyak orang yang ingin mengetahui mengapa seorang pendiri dan mantan presiden kemudian menjadi dikucilkan oleh gerakan lingkungan yang pernah didukungnya selama belasan tahun. Ketika bersama Greenpeace, berkali-kali Pat Moore ditangkap polisi berbagai negara karena aksi-aksinya dalam melindungi alam. Ia hidup hanya ditemani kopernya untuk melanglang buana, mengorbankan kehidupan berkeluarga, untuk membela apa yang ia percaya. Namun, di tahun 1986 ia menyatakan berhenti dari keanggotaan Greenpeace dan menyeberang ke wilayah “musuh”, yaitu korporasi. Tindakan ini oleh jurnalis Drake Bennett disebut sebagai tindakan pengkhianatan terbesar setelah penyeberangan Harold Philby dari Dinas Rahasia Inggris ke Uni Soviet. Menurut Pat Moore, tak ada perubahan sedikit pun dalam dirinya.

Awalnya adalah ceramah Tom Burke, pimpinan Friends of the Earth Inggris kala itu, pada Konferensi United Nations Environmental Programme di Nairobi tahun 1982. Di situ Pat Moore pertama kali mendengar istilah “sustainable development”, yang kelak akan menjadi sangat terkenal. Seketika itu ia menjadi sadar bahwa nilai lingkungan haruslah diperlakukan seimbang dengan nilai-nilai sosial dan ekonomi, bukan mengatasi keduanya, sebagaimana yang ia dan kawan-kawannya percaya. Pembangunan berkelanjutan adalah sintesis nilai, bukan kompetisi atas berbagai nilai. Dalam biografinya A Founder of Greenpeace, ia mengingat bahwa para pendukung gerakan lingkungan pada saat itu beranggapan bahwa seluruh tindakan manusia itu negatif, sementara alam adalah positif. Anggapan ini, menurutnya, telah membuat manusia terasing dari alam. Sebagai orang yang sangat mempercayai hipotesis Gaia yang diperkenalkan oleh James Lovelock, ia berpendirian tidaklah masuk akal bagi manusia untuk mengasingkan diri dari Bumi. Manusia harus belajar dari proses-proses lingkungan yang selama ini telah diketahui, sehingga secara aktif dapat mengubah lingkungan --bukan merusaknya-- sesuai dengan kebutuhannya.

Pat moore kemudian mulai merenungi perjalananan diri dan organisasinya. Hasilnya adalah bahwa gerakan lingkungan secara keseluruhan telah berhasil mempromosikan nilai lingkungan kepada pemerintahan banyak negara dan juga kepada berbagai korporasi. Ia melihat bahwa, setidaknya di Barat, nilai-nilai keseimbangan itu mulai menjadi arus utama. Diadopsinya nilai lingkungan oleh pemerintah dan korporasi, yang masih berada dalam tahap awal, ia lihat sebagai bayi kandung dari gerakan lingkungan, dan sudah seharusnya para aktivis menugaskan dirinya untuk memelihara apa yang keluar dari rahim gerakan lingkungan itu. Kompleksnya masalah lingkungan juga tidak memungkinkan penyelesaian yang parsial oleh gerakan lingkungan saja, melainkan harus dilaksanakan secara kooperatif dan kolaboratif dengan pemerintah, korporasi, institusi publik dan gerakan lingkungan. Dalam ungkapan Pat Moore sendiri

“The politics of blame and shame must be replaced with the politics of working together and win-win.”

Sayangnya, pendirian ini tidak disambut baik oleh rekan-rekannya, yang kebanyakan berusia lebih muda. Yang kemudian terjadi setelah nilai lingkungan mulai diadopsi oleh pemerintah dan korporasi malahan adalah ekstremisme gerakan lingkungan. Kalau Pat Moore menganjurkan penggunaan instrumen ekonomi dan politik untuk mempromosikan pemanfaatan bijak dan pelestarian lingkungan, rekan-rekannya dinilai lebih tertarik untuk menggunakan jargon lingkungan untuk memperoleh kepentingan politik dan ekonomi. Hal tersebut sangat menggelisahkannya, dan membuatnya memutuskan untuk keluar dari Greenpeace. Sejarah kemudian juga mencatat bahwa Peter Melchett mundur dari kepemimpinan Greenpeace di tahun 2000 dengan alasan yang kurang lebih serupa. Ia dikutip Rory Spowers, penulis buku sejarah gerakan lingkungan Rising Tides, menyatakan:


“It was difficult to remain radical in a period where our original methods and objectives are not as relevant as they were.”

Pat Moore kemudian berselisih dengan berbagai organisasi lingkungan setidaknya dalam empat isu.. Pertama, rekayasa genetika, yang menurutnya dapat mengurangi banyak penggunaan pestisida, meningkatkan hasil, dan menurunkan dengan drastis tingkat erosi tanah. Kedua, dalam berbagai jenis sumber energi alternatif. PLTA yang merupakan 12% dari total sumber energi dunia tidak dapat dihapuskan begitu saja, dan tentu saja lebih ramah lingkungan daripada pembangkit listrik berbasis batubara. Tenaga angin sebagai energi alternatif yang bersih emisi yang ditentang karena dianggap banyak membunuh burung, dibelanya dengan menyatakan bahwa kematian burung karena kucing dan manusia sejuta kali lebih banyak. Bersama-sama dengan James Lovelock, ia membela penggunaan tenaga nuklir sebagai sumber energi yang bisa menghilangkan kesulitan-kesulitan umat manusia dalam mengurangi emisi akibat penggunaan bahan bakar fosil. Ketiga, kehutanan, yang banyak menjadi sasaran kampanye untuk dihentikan eksploitasinya. Menurutnya, sebagai sumberdaya yang terbarukan yang harus dilakukan manusia terhadap hutan adalah penanaman sebanyak mungkin pohon dan pengaturan eksploitasinya, bukan melarang sama sekali eksploitasi atasnya. Terakhir, dalam hal pertambangan, yang menurutnya belum dapat digantikan mengingat kebutuhan manusia atas produknya. Pat Moore berpendirian bahwa sepanjang sebuah pertambangan mengadopsi pembangunan berkelanjutan, pelestarian keanekaragaman hayati, manajemen Daerah Aliran Sungai dan partisipasi publik, tidak seharusnya perusahaan pertambangan itu dihentikan operasinya.

Sebagai orang yang memiliki perangkat ilmiah terbaik, seluruh argumentasinya dinilai oleh banyak ilmuwan sebagai sangat valid. Pengakuan ini tentu saja membantah tuduhan pengkhianatan yang ditujukan padanya. Terlepas dari perselisihannya yang tak kunjung selesai dengan beberapa organisasi lingkungan terutama Greenpeace, keyakinan Pat Moore mengenai lingkungan memunculkan banyak signifikansi penting bagi kondisi Indonesia sekarang. Penggunaan ilmu pengetahuan harus lebih ditekankan, karena hanya melaluinyalah permasalahan lingkungan bisa dilihat dengan kejernihan. Ilmu pengetahuan telah banyak mengungkapkan bagaimana pengrusakan lingkungan memang telah terjadi, namun yang kini lebih penting lagi adalah bagaimana mempergunakannya untuk memperbaiki kondisi. Perbaikan kondisi ini juga tidak bisa dilaksanakan dengan cara pertentangan terus menerus, karena pertentangan hanya akan mengorbankan Bumi dan generasi manusia mendatang. Inklusivisme penyelamatan lingkungan harus benar-benar melibatkan seluruh pihak. Mereka yang belum tergabung harus segera disadarkan dengan berbagai cara selain “blame and shame” yang berulang kali hanya menghasilkan resistensi dan permusuhan.

Kini Pat Moore mengenang bagaimana buku Warriors of the Rainbow yang dianggap menjadi nubuat bagi peran manusia dalam penyelamatan lingkungan dengan cara yang sangat berbeda. Sebagai salah seorang di antara dua belas awak berani mati pada pelayaran kapal Phyliss Cormack di tahun 1971, ia dan kawan-kawannya ketika itu berkeyakinan bahwa merekalah yang disebutkan dalam buku itu, karena pelayaran mereka kerap ditemani oleh kemunculan pelangi. Sejak tahun 1997 hingga sekarang, ia berkeyakinan bahwa pelangi itu melambangkan umat manusia dari beragam warna kulit dan kelompok yang berjuang bersama untuk memperjuangkan Bumi yang berkelanjutan. Kalau hendak merangkul lebih banyak lagi pihak untuk menyelamatkan lingkungan, interpretasi inklusif yang belakangan ini memang kiranya lebih cocok. Semoga ini pula yang akan terjadi di Indonesia.

Jakarta, 24 Maret 2006.
Jalal, Lingkar Studi CSR

Tidak ada komentar: