Jumat, 17 Oktober 2008

Inkonsistensi untuk “menjadi”

Hai orang ling-lung yang terombang ambing dalam pencarian. Tetaplah konsisten terhadap inkonsistensi. Sebab semakin banyak yang ingin kamu peroleh, sebanyak itupulalah inkonsistensi akan kamu dapatkan.

Hari-hariku selalu bermetamorforsis mencari kesempurnaan, kebahagiaan hakiki, kebenaran pasti, dan cinta sejati. Sampai-sampai proses metamorfosis membuatku tidak sadar atas apa yang menimpaku, siapa aku, dimana aku, mengapa bisa seperti ini.

Metamorforsis yang dialami layaknya Kafka (1981)
“ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu, mendudukkanmu di depan cermin, dan membuatmu bertanya, “tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”. Ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu, menimbang-nimbang hari lahirmu, mereka-reka sebab-sebab kematianmu Ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu”

Dari sini, sebenarnya saya ingin mengulangi lagi teriakan Mirabeau, salah satu arsitek revolusi Perancis yang bisa jadi merupakan pembenaran proses metamorforsis atau lebih tepatnya, inkonsistensi yang saya alami:

“ada orang-orang yang tidak pernah mengubah pikirannya. Itulah orang-orang yang tidak pernah berpikir sama sekali”.

Inkonsistensilah yang terus mengarahkan saya untuk terus berpikir, dan berpikir. Apakah perubahan pikiran saya mengarah ke arah yang lebih baik atau lebih jelek, itulah yang selalu ingin saya cari tahu.

Dalam kehidupan ini, saya banyak menjumpai orang yang inkonsisten terhadap pemikirannya. Salah satunya saya cukup terheran mengapa kang jalal (sebutan untuk Jalaludin Rahmat) mengakui sendiri lewat bukunya berjudul catatan kang jalal kalau dia adalah

orang Muhammadiyah yang besar di Nu dan Jadi Syi’ah”.

Dan ada banyak contoh lain yang kesulitan untuk menjatuhkan pilihan akhirnya “aku akan memilih apa, menjadi apa”. Saya sendiri akan selalu mengikuti proses belajar tiada henti dengan selalu bersandarkan pada salah satu doa panjang khatmil al quran

“Ya Allah, jadikan umur terbaik hamba di penghujungnya, jadikan amal terbaik hamba di penutupnya, jadikan hari-hari terbaik hamba saat bertemu denganMu”.

“Akhir yang baik” adalah ungkapan yang tepat untuk mengarahkan pencarian hidupku. Mirip dengan ungkapan Amien Rais ketika berkomentar tentang gejolak kekuasaan yang seolah tanpa batas.

“saya sering merenung bahwa di dunia yang fana ini, segala sesuatu itu ada batasnya. Dalam bahasa Al-Quran, batas itu disebut ajal. Hanya saja dalam menghampiri batas ajal itu ada dua jalan yang dapat diambil. Yang baik dan yang buruk. Kalau kita memilih yang baik, kita akan sampai pada akhir yang baik. demikian pula sebaliknya.”

Semudah itukah?, padahal di sudut lain aku menghadapi dunia realitas yang kejam yang sedikit banyak menentukan nilai kebaikan yang hendak aku cari. Persis seperti ungkpana Andre Gide dalam novel bernafaskan keagamaan berjudul La Porte Etroite

“kristen nggak kristen, soal keimanan, problemnya sama saja, yaitu bagaimana menghadapi kenyataan dunia yang berbeda dengan idealismenya”.

Apa yang diungkapkan Gide sangat mungkin dialami siapa saja yang sedang mempertahankan idealisme keimananya. Ada sebagian orang yang berupaya menghindari realitas dunia demi mempertahankan keimanan dengan mengkarantina diri dalam kelompok yang memiliki keimanan yang sama. Banyak juga yang berprinsip “demi kemajuan umat, realitas dunia –dalam bentuk papapun - harus dihadapi”.

Ada juga yang kemudian memberanikan diri untuk lebih lembut dan toleran dalam memperkenalkan keimanannya. Walaupun dengan sikap tersebut sesorang rntan menuai banyak kecaman pro dan kontra. Inilah dia pengaut paham jalan tengah. Di Indonesia, organisasi semacam NU bisa dijadikan contoh. Organisasi isalam yang menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Apa;agi jika dibumbui kredo fiqih yang terkenal “membawa nilai lama yang masih relevan serta mengadopsi nilai baru yang baik”.

Menarik sekali jika kita memperhatikan ucapan yang dilontarkan mantan panglima laskar jihad Ja’far Umar Thalib

“…Saya lupa dengan keadaan yang sesungguhnya mayoritas ummat di Indonesia yang tingkat pemahamannya amat rendah tentang Islam. Saya saat itu menganggap tingkat pemahaman ummatku sama dengan tingkat pemahaman murid-muridku. Akibatnya ketika saya menyikapi penyelewengan ummat dari As-Sunnah, saya anggap sama dengan penyelewengan orang-orang yang ada di sekitarku yang selalu saya ajari ilmu. Tentu anggapan ini adalah anggapan yang dhalim. Dengan anggapan inilah akhirnya saya ajarkan sikap keras dan tegas terhadap ummat yang menyimpang dari As-Sunnah walaupun mereka belum mendapat penyampaian ilmu Sunnah. Sayapun sempat menganggap bahwa mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara mutlak.” (Majalah SALAFY, edisi 5 tahun ke 5, hal. 9-10).

Sebagai seorang yang sedang belajar banyak hal, saya lebih senang jika keimanan yang saya miliki jauh dari taqlid yang membabi buta. Untuk itulah pemahaman tentang perbandingan agama, amzhab, aliran, aqidah perlu saya perdalam. Dengan tetap pada posisi “mengambil jarak” terhadap obyek yang dipelajari. Proses “passing over” itulah yang sedang saya jalani.memakan waktu dan tentu saja melelahkan. Dan saat ini saya belum memikirkan pada “pilihan akhir”, karena yang lebih saya tekankan adalah “spirit of inquiry”. Belajar dan berproses untuk “menjadi” (being to be)…dengan selalu berpedoman pada kompas hidup yang berorientasi pada akhir yang baik. Amin

I am still learning. It is never too late to learn. Itulah yang selalu terngiang.

Tidak ada komentar: