Ada nuansa baru ketika saya mengikuti workshop CSR 3 bertajuk “no earth without heart” yang diselenggarakan FOSMA 165 di FEB UGM. Workshop telah mengantarkan saya pada seluk beluk csr lebih detil dan yang tak kalah seru yakni kerja tim dalam pembuatan program CSR.
Hari pertama diawali dengan seminar yang menampilan tiga pembicara yakni Mohamad Kurniawan dari Srenegenge, pihak XL yang diwakili Harry Deje, dan Jakarta Post yang mengutus Rita Widiadana.
Walaupun datang terlambat mengikuti presentasi pertama dari Pak Iwan, saya masih berkesempatan menikmati 10 menit presentasinya. Konseptual sekaligus teknikal itulah kesan dari pemaparan pak iwan. Tidak ada yang baru, namun pak iwan telah mengantarakan saya pada pemahaman yang lebih detil tentang CSR. Tentunya ini tak bisa lepas dari pengalaman pak iwan yang malang melintang mempraktikan program-program CSR.
Pembicara berikutnya yaitu Harry Deje, corporate communication manager PT. Excelcomindo Pratama, Tbk. Dalam pemaparanya, Deje lebih memperkenalkan CSR berdasarkan pengalaman kerjanya mengurusi program CSR XL. Sehingga yang saya dapatkan lebih berwarna karena mendapatkan pengetahuaan praktis langsung dari sumbernya. Penjelasan yang nampaknya masih melekat dalam ingatan saya yaitu tentang perbedaan konsep donasi, kerja sosial, dan CSR. Menurutnya, donasi berarti tangan kanan memberi, tangan kanan tidak boleh tahu. Kerja sosial lebih menekankan kerja bareng antara tangan kanan dengan tangan kiri untuk mencapai suatu goal. Sedangkan yang membedakaan CSR dengan keduanya yaitu CSR merangkum donasi dan kerja sosial dengan bungkus “seluruh dunia harus tahu”. Tak heran jika yang muncul kemudian adalah CSR merupakan kombinasi antara kegiatan social perusahaan dengan fungsi publikasi. Suatu perusahaan merasa kurang jika telah berbuat amal minus publikasi. Walaupun dalam anggapannya telah melakukan CSR, namun perusahaan akan tetap menuntut “seluruh dunia harus tahu”. Sehingga sering kita temui silent phenomena suatu perusahaan memberi donasi (dalam bentuk beasiswa pendidikan misalnya) yang nilainya lebih kecil dari biaya tayang iklan. Inilah yang menjadikan terkorosinya konsep CSR. Konsep altruistic CSR bukan lagi sebuah perbuatan mulia tapi perbuatan mencari publisitas agar citra perusahaan positif di mata masyarakat. Perusahaan senang kegiatanya diketahui masyarakat karena itu berarti perusahaan dianggap concern pada dunia pendidikan. Dan bagi perusahaan itu sah-sah saja. Perusahaan akan mempan kritik diterpa isu semacam ini selama tidak ada aturan yang jelas dari pemerintah mengenai CSR.
Rita Widiadana¸ Education program director the Jakarta Post, tak berbeda jauh dengan pembicara di atas. Keunikan dari presentasi Rita Widiadana yaitu upaya Jakarta post membuat breakthrough. Dikatakan breakthrough karena Jakarta Post merasa setiap perusahaan mempunyai kewajiban membuat tanggung jawab social perusahaan tanpa harus menunggu dan terikat dengan instrument kebijakan yang dibuat pemerintah. Lewat Koran berbahasa inggris The Jakarta Post dan media lain yang dimiliki (seperti The Jakarta Post Weekender magazine), mereka melakukan program CSR pendidikan bahasa inggris melalui media cetak bernama NIE (Newspaaper in Education) yang hadir sebulan sekali.
Selesai presentasi dan sesi tanya jawab, acara dilanjutkan dengan pembagian kelompok. Tergabunglah nama saya dengan kelompok hijau muda beranggotakan ochie, heru, indri, ajeng, lala, arief, adi, febin, … Disitulah saya menjalani kesibukan selama tiga hari. Melelahkan dan menyenangkan. Lebih seru lagi karena buah hasil kerja keras kami diganjar dengan juara kelompok. Kami mendapatkan 11 buku berbeda judul, dan sebuah Tupperware kecil. Nggak nyangka, namun itulah kesuksesan, sebuah keberuntungan yang diusahakan. Congrats buat teman-teman jagoan NEON. Saat ini, saya baru kebagian jatah baca “Rahasia Jadi Enterprenneur Muda” karangan Faif Yusuf. Masih ada lagi buku KicK Andy, The Secret, Law Attraction, etc. Saya masih menunggu rotasi buku dari teman-teman jagoan neon agar bisa membaca buku lainnya. Ku tunggu.
25 April 2008
Hari pertama diawali dengan seminar yang menampilan tiga pembicara yakni Mohamad Kurniawan dari Srenegenge, pihak XL yang diwakili Harry Deje, dan Jakarta Post yang mengutus Rita Widiadana.
Walaupun datang terlambat mengikuti presentasi pertama dari Pak Iwan, saya masih berkesempatan menikmati 10 menit presentasinya. Konseptual sekaligus teknikal itulah kesan dari pemaparan pak iwan. Tidak ada yang baru, namun pak iwan telah mengantarakan saya pada pemahaman yang lebih detil tentang CSR. Tentunya ini tak bisa lepas dari pengalaman pak iwan yang malang melintang mempraktikan program-program CSR.
Pembicara berikutnya yaitu Harry Deje, corporate communication manager PT. Excelcomindo Pratama, Tbk. Dalam pemaparanya, Deje lebih memperkenalkan CSR berdasarkan pengalaman kerjanya mengurusi program CSR XL. Sehingga yang saya dapatkan lebih berwarna karena mendapatkan pengetahuaan praktis langsung dari sumbernya. Penjelasan yang nampaknya masih melekat dalam ingatan saya yaitu tentang perbedaan konsep donasi, kerja sosial, dan CSR. Menurutnya, donasi berarti tangan kanan memberi, tangan kanan tidak boleh tahu. Kerja sosial lebih menekankan kerja bareng antara tangan kanan dengan tangan kiri untuk mencapai suatu goal. Sedangkan yang membedakaan CSR dengan keduanya yaitu CSR merangkum donasi dan kerja sosial dengan bungkus “seluruh dunia harus tahu”. Tak heran jika yang muncul kemudian adalah CSR merupakan kombinasi antara kegiatan social perusahaan dengan fungsi publikasi. Suatu perusahaan merasa kurang jika telah berbuat amal minus publikasi. Walaupun dalam anggapannya telah melakukan CSR, namun perusahaan akan tetap menuntut “seluruh dunia harus tahu”. Sehingga sering kita temui silent phenomena suatu perusahaan memberi donasi (dalam bentuk beasiswa pendidikan misalnya) yang nilainya lebih kecil dari biaya tayang iklan. Inilah yang menjadikan terkorosinya konsep CSR. Konsep altruistic CSR bukan lagi sebuah perbuatan mulia tapi perbuatan mencari publisitas agar citra perusahaan positif di mata masyarakat. Perusahaan senang kegiatanya diketahui masyarakat karena itu berarti perusahaan dianggap concern pada dunia pendidikan. Dan bagi perusahaan itu sah-sah saja. Perusahaan akan mempan kritik diterpa isu semacam ini selama tidak ada aturan yang jelas dari pemerintah mengenai CSR.
Rita Widiadana¸ Education program director the Jakarta Post, tak berbeda jauh dengan pembicara di atas. Keunikan dari presentasi Rita Widiadana yaitu upaya Jakarta post membuat breakthrough. Dikatakan breakthrough karena Jakarta Post merasa setiap perusahaan mempunyai kewajiban membuat tanggung jawab social perusahaan tanpa harus menunggu dan terikat dengan instrument kebijakan yang dibuat pemerintah. Lewat Koran berbahasa inggris The Jakarta Post dan media lain yang dimiliki (seperti The Jakarta Post Weekender magazine), mereka melakukan program CSR pendidikan bahasa inggris melalui media cetak bernama NIE (Newspaaper in Education) yang hadir sebulan sekali.
Selesai presentasi dan sesi tanya jawab, acara dilanjutkan dengan pembagian kelompok. Tergabunglah nama saya dengan kelompok hijau muda beranggotakan ochie, heru, indri, ajeng, lala, arief, adi, febin, … Disitulah saya menjalani kesibukan selama tiga hari. Melelahkan dan menyenangkan. Lebih seru lagi karena buah hasil kerja keras kami diganjar dengan juara kelompok. Kami mendapatkan 11 buku berbeda judul, dan sebuah Tupperware kecil. Nggak nyangka, namun itulah kesuksesan, sebuah keberuntungan yang diusahakan. Congrats buat teman-teman jagoan NEON. Saat ini, saya baru kebagian jatah baca “Rahasia Jadi Enterprenneur Muda” karangan Faif Yusuf. Masih ada lagi buku KicK Andy, The Secret, Law Attraction, etc. Saya masih menunggu rotasi buku dari teman-teman jagoan neon agar bisa membaca buku lainnya. Ku tunggu.
25 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar